07 December 2025

Get In Touch

Guru Besar Unair: Banjir dan Longsor Bukan Murka Alam, tapi Krisis Ulah Manusia

Guru Besar Antropologi Ekologi FISIP Universitas Airlangga (Unair), Prof Dr Mohammad Adib Drs MA.
Guru Besar Antropologi Ekologi FISIP Universitas Airlangga (Unair), Prof Dr Mohammad Adib Drs MA.

SURABAYA (Lentera)— Rentetan banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat dalam beberapa hari terakhir kembali membuka persoalan mendasar tentang krisis relasi manusia dengan alam.  Guru Besar Antropologi Ekologi FISIP Universitas Airlangga (Unair), Prof Dr Mohammad Adib Drs MA, mengatakan bencana yang disebut sebagai bencana alam pada dasarnya adalah bencana yang dipicu oleh perilaku manusia sendiri.

Menurut Prof Adib, banjir, longsor, maupun kekeringan ekstrem merupakan konsekuensi dari tata kelola lingkungan yang tidak berpihak pada keberlanjutan. Ia menjelaskan, alam tidak sedang marah, melainkan merespons tekanan yang terus-menerus diberikan manusia melalui eksploitasi ruang hidup.

“Hujan adalah siklus alam, tetapi banjir adalah bukti kegagalan sistem sosial dan budaya kita dalam merespons siklus itu. Kita telah melampaui daya dukung lingkungan (carrying capacity). Alam tidak marah, hanya bereaksi,” jelasnya, Kamis (4/12/2025).

Prof Adib juga menyoroti persoalan tata kelola ruang yang menurutnya semakin menjauh dari prinsip keadilan ekologis. Kawasan resapan air, bantaran sungai, hingga hutan kota yang seharusnya menjadi ruang bernapas bagi lingkungan terus berubah menjadi area terbangun.

“Ironisnya, kerusakan lingkungan ini lebih dulu dirasakan masyarakat kecil yang tinggal di kawasan rawan bencana, bukan para pengambil kebijakan. Ini adalah bentuk ketidakadilan ekologis,” tuturnya.

Selain itu, perubahan nilai budaya turut memperparah renggangnya hubungan manusia dengan alam. Prof Adib menyebut, masyarakat tradisional memiliki cara pandang yang memposisikan alam sebagai mitra. Namun, budaya modern yang berorientasi pada kepemilikan mendorong eksploitasi sumber daya tanpa jeda pemulihan.

“Akar persoalannya ada pada perubahan cara pandang manusia modern terhadap alam. Budaya konsumerisme membuat kita terus mengeruk sumber daya,” sebutnya.

Untuk itu, ia menekankan mitigasi bencana tidak cukup hanya dengan membangun infrastruktur, tetapi membutuhkan revolusi mental ekologis yang menghidupkan kembali nilai-nilai lokal serta etika kepedulian terhadap lingkungan dalam kebijakan pembangunan.

Sebagai regulator, negara disebut memiliki peran krusial dalam mengarahkan pembangunan yang berkelanjutan. Namun hingga kini, Prof Adib menilai belum terlihat adanya peta jalan lingkungan yang konsisten dan berjangka panjang.

“Tanpa arah yang tegas, kebijakan lingkungan akan terus berjalan sporadis dan tidak menyelesaikan akar masalah,” tegasnya.

Prof Adib menegaskan bencana tidak boleh dipandang sebagai takdir yang tidak dapat diubah. Sebaliknya, bencana adalah produk sosial dari cara hidup serta kebijakan yang melampaui batas daya dukung ekologis.

“Kita harus bergerak dari relasi eksploitatif ke relasi adaptif yang menghargai kearifan lokal sebagai pertahanan ekologis terbaik. Ini panggilan budaya,” pungkasnya. (*)

 

Reporter: Amanah 
Editor : Lutfiyu Handi

 

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.