KOLOM (Lentera) -Tahun 2018 pertama kali saya membaca tulisan “Visi Saudi 2030”.
Terlihat ada di sudut-sudut kota Makkah. Bahkan di dalam Masjidil Haram, tempat utama para peziarah menunaikan kegiatan umrah.
Di kota Madinah, bus kota ditempeli stiker dengan warna mencolok: merah!
Adalah Mohammed Bin Salman Putra Mahkota sekaligus pemimpin de facto Kerajaan Arab Saudi yang mencetuskan Visi Saudi 2030 pada 24 April 2016.
Permasalahan ekonomi yang dimiliki Arab Saudi membutuhkan solusi jangka panjang yang dapat membangun stabilitas negara dan menjamin kesejahteraan masyarakat di masa depan.
Harga minyak terus mengalami fluktuasi secara signifikan selama bertahun- tahun. Setiap harga minyak turun, ekonomi Arab Saudi mengalami krisis.
Hal ini karena Arab Saudi mengandalkan sector minyak sebagai sumber pendapatannya, dan tidak mengembangkan sektor lainnya secara maksimal.
Visi Saudi 2030 adalah peta jalan Arab Saudi menuju masa depan yang berkelanjutan secara ekonomi.
Umrah Ramdahan dan Syawal 2019 saya belum melihat kejadian signifikan.
Saya berada di Makkah pada 23 September 2024. Saat itu Saudi merayakan Hari Nasional ke-94 dengan deretan prestasi Visi 2030 yang mencengangkan dan melampaui target.
Bayangkan suasana meriah di seluruh penjuru Arab Saudi, saat negeri gurun ini merayakan Hari Nasional dengan penuh kebanggaan.
Di bawah payung ambisi besar Visi 2030, berbagai target yang awalnya disiapkan untuk jangka panjang justru berhasil dicapai lebih cepat dari rencana.
Siapa sangka, sebelum tahun 2030 tiba, Arab Saudi sudah melesat jauh! Dilansir dari Saudigazette, berdasarkan laporan tahunan 2024, 85 persen inisiatif Visi 2030 telah selesai atau tetap on track.
Dari 1.502 inisiatif aktif, 674 di antaranya tuntas, sementara 596 lainnya berjalan sesuai jadwal.
Jumlah jamaah umrah 2024 mencapai 16,92 juta, jauh melampaui target 11,3 juta.
Kepemilikan rumah keluarga Saudi juga naik pesat menjadi 65,4%, padahal di 2016 baru 47 persen. Layanan kesehatan pun makin merata, sudah menjangkau 96,4% komunitas, mendekati target 99,5 persen untuk 2030.
Kentang sepanjang tahun
Terbaru, Arab Saudi menggaet produksi kentang lokal setelah teknologi irigasi tetes menghemat air hingga separuhnya dan meningkatkan hasil panen sampai seperempat.
Negara memanfaatkan pola tanam bergiliran untuk menyediakan kentang sepanjang tahun. Dengan demikian, pasar domestik tidak lagi bergantung pada impor yang sebelumnya mencapai 95 persen.
Para petani memakai mesin modern untuk memotong biaya air sekaligus menaikkan produktivitas. Strategi ini mendukung target ketahanan pangan yang menjadi fokus Vision 2030.
Pabrik baru Al Jouf Agricultural Company mengolah lebih dari 50.000 ton kentang per tahun dan menangani seluruh proses dari panen hingga produk beku seperti kentang goreng.
Selain itu, lini otomatis ini mempercepat upaya Saudi untuk menekan impor sampai level 10–15 persen dan memperkuat industri pangan nasional.
Para pembuat kebijakan mengambil pelajaran dari krisis kentang di Jepang pada 2021 ketika gangguan impor membuat restoran cepat saji menjual porsi kecil.
Kondisi itu mendorong harga naik dan pasokan kacau, sehingga Saudi memilih memperkuat produksi dalam negeri agar tidak mengalami gejolak serupa.
Dari saudinesia, teknologi irigasi tetes membuat ekspor kentang kembali tumbuh setelah negara ini sempat menahan pengiriman keluar untuk menghemat air.
Agricultural Development Fund mendanai proyek-proyek baru untuk memperkuat rantai pasok nasional. Pelaku industri dapat memperluas lahan, meningkatkan kapasitas pendinginan, dan memodernisasi jalur pengolahan.
Upaya memperkuat industri kentang ini menegaskan ambisi Saudi untuk membangun sektor pertanian yang tahan krisis. Teknologi irigasi modern mengubah keterbatasan air menjadi peluang.
Dengan demikian, konsumen dapat menikmati harga yang lebih stabil serta pasokan yang aman sepanjang tahun.
Dulu, 95 persen impor. Kini Saudi kuasai sendiri produk kentang lokal (*)
Arifin BH, Pemimpin Redaksi




