16 December 2025

Get In Touch

Empati yang Harus Lapor Dulu

Zainal Arifin Emka mengisi pembekalan Uji Kompetensi Wartawan di Situbondo. UKW digelar Kominfo Situbondo bareng LP UKW Unitomo Surabaya, 5 - 7 Desember 2025 (Foto: Anggri Fauzan/Kominfo)
Zainal Arifin Emka mengisi pembekalan Uji Kompetensi Wartawan di Situbondo. UKW digelar Kominfo Situbondo bareng LP UKW Unitomo Surabaya, 5 - 7 Desember 2025 (Foto: Anggri Fauzan/Kominfo)

OPINI (Lentera) -Pernyataan Menteri Sosial, Syaifulloh Yusuf tentang aturan penggalangan dana bencana, kembali mengingatkan kita, di negeri ini untuk sebuah empati pun tampaknya perlu tata kelola. 

Publik yang sedang ingin membantu mendadak dihadapkan pada pesan implisit: tolong boleh, asal prosedurnya lengkap. Bencana, sayangnya, belum tentu membaca pengumuman itu.

Mari kita beri kredit terlebih dahulu. Negara tentu tidak bermaksud mempersulit kebaikan. Regulasi dibuat untuk mencegah penipuan dan menjaga agar empati publik tidak dijadikan bisnis musiman. 

Niatnya terhormat. Hanya saja, niat yang baik bila disampaikan tanpa rasa, sering terdengar seperti pengumuman mobil salah parkir di tengah upacara duka.

Kegundahan publik bisa dimaklumi karena pengumuman itu muncul seolah merespon fakta ketika kreator konten Ferry Irwandi, bisa menghimpun lebih dari Rp10 miliar dalam 24 jam untuk korban bencana.

Rachel Vennya dan komedian Praz Teguh pun melakukan hal serupa dengan nominal ratusan juta hingga miliaran rupiah.

Wajar jika ada yang cemburu. Pergeseran ini tak hanya mencerminkan dinamika era digital, tapi juga menunjukkan jurang krisis kepercayaan masyarakat kepada negara yang terus melebar.

Musti diakui, fenomena ini menandai perubahan penting dalam pola filantropi masyarakat. Publik kini lebih memercayai figur individual di media sosial dibandingkan institusi negara yang secara formal bertanggung jawab menangani bencana.

Bukan Kejahatan

Masalah utama bukan pada aturannya, melainkan pada waktu dan cara ia disuarakan. Ketika warga sedang berlomba mengulurkan tangan, negara datang membawa clipboard. Saat masyarakat sibuk mengirim bantuan, negara sibuk memastikan kolom tanda tangan tidak terlewat.

Empati pun mendadak terasa seperti kegiatan yang perlu registrasi ulang.

Bencana bergerak cepat, solidaritas publik lebih cepat lagi. Regulasi, seperti biasa, berjalan anggun di belakang sambil memastikan semua sepatu mengkilap. Ketika jarak ini tidak disadari, yang terdengar oleh publik bukan pengawalan, melainkan kecurigaan.

Yang membuat situasi semakin jenaka adalah kesan seolah-olah tanpa regulasi, empati warga akan langsung berubah menjadi kejahatan terorganisir. Padahal, sebagian besar masyarakat hanya ingin membantu.

Bukan hendak membuka kantor cabang penipuan. Ironisnya, dalam upaya melindungi publik dari oknum, negara justru berisiko menjauh dari publik itu sendiri.

Tentu negara tetap perlu aturan. Namun aturan yang cerdas tahu kapan harus tampil di depan, dan kapan sebaiknya memberi ruang. 

Dalam konteks bencana, regulasi idealnya berfungsi seperti rompi keselamatan: melindungi, bukan membatasi gerak. Jika terlalu kaku, yang terjadi bukan keselamatan, melainkan sesak napas.

Jangan Menghambat

Persyaratan izin penggalangan dana untuk memberi bantuan bagi korban bencana juga disoroti anggota Dewan.

Dini Rahmania buru-buru mengingatkan, jangan sampai peraturan itu justru menghambat solidaritas warga. Di fase tanggap darurat atas bencana yang terjadi di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, prinsip kemanusiaan menuntut kecepatan.

Legislator Partai Nasional Demokrat (NasDem) dari Dapil Jawa Timur itu memperingatkan, dalam keadaan darurat, yang utama adalah menyelamatkan nyawa. Maka, mekanisme izin harus disesuaikan, dipermudah, dan jangan menghambat penyaluran bantuan. 

Dia mengungkapkan bahwa berbagai analisis dan kebijakan dari sektor filantropi menilai bahwa mekanisme perizinan saat ini dirasa sering kurang responsif terhadap situasi bencana, termasuk lamanya proses perizinan. Dan, ini yang miris: risiko kriminalisasi relawan.

Pada akhirnya, polemik ini memberi pelajaran penting: empati publik adalah modal sosial yang rapuh sekaligus berharga. Ia tumbuh dari kepercayaan, bukan dari ancaman sanksi. Negara yang ingin mengelolanya dengan baik, harus lebih dulu percaya. Baru kemudian mengatur.

Sebab dalam urusan kemanusiaan, negara yang terlalu cepat mengingatkan prosedur sering kali terlambat menyapa rasa. *

Penulis: Zainal Arifin Emka, Wartawan Tua, Pengajar Stikosa-AWS|Editor: Arifin BH

Share:

Punya insight tentang peristiwa terkini?

Jadikan tulisan Anda inspirasi untuk yang lain!
Klik disini untuk memulai!

Mulai Menulis
Lentera Today.
Lentera Today.