BATU (Lentera) - Pemerintah Kota (Pemkot) Batu melalui Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Batu terus memperkuat sektor kesehatan melalui pemerataan layanan hingga ke tingkat desa/ kelurahan dan strategi agresif penanganan penyakit menular.
Komitmen ini ditegaskan dalam Puncak Acara Hari Kesehatan Nasional (HKN) bertajuk "Generasi Sehat, Masa Depan Hebat" di Gedung Graha Pancasila, Balai Kota Amongtani, Rabu (17/12/2025).
Acara tersebut juga diisi dengan pemberian penghargaan kepada Forkopimda, Rumah Sakit, Organisasi Kemasyarakatan, SKPD dan lainnya atas sinergitas kesehatan. Penghargaan juga diberikan kepada Dadaprejo sebagai wilayah pertama di Kota Batu dengan terbitnya Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) untuk dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Wali Kota Batu, Nurochman, dalam sambutannya mengapresiasi kinerja Dinas Kesehatan (Dinkes) dan tenaga kesehatan yang terus berupaya mewujudkan visi "Batu Sae". Salah satu capaian utama adalah realisasi Unit Pelayanan Kesehatan Tingkat Desa/ Kelurahan.
"Program ini mem-breakdown visi misi agar Pemkot Batu menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Kita ada polindes, maka kita rekrut nakesnya, dan Alhamdulillah sampai bulan Desember sudah tercapai semua, saya berharap 24 desa kelurahan sudah terjangkau minimal satu desa satu dokter,," ujar Nurochman dalam sambutannya pada Rabu (17/12/2025).
Nurochman menjelaskan, kehadiran dokter di setiap desa/ kelurahan bertujuan mendekatkan akses warga. Meski belum menjangkau setiap dusun, tetapi upaya ini dinilai strategis dan semangat bagi Pemkot Batu untuk terus memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat di bidang kesehatan.
Ia juga menargetkan perbaikan fasilitas klinik desa terus berlanjut pada tahun 2026.
"Di level polindes yang sementara kita punya adalah poliklinik di desa, tentu satu desa bisa tiga dusun, ini memang belum bisa menjangkau semua dusun memiliki dokter belum, tetapi step ini cukup membanggakan," katanya.
Terkait upaya pencegahan dan penanganan TBC, Nurochman menambahkan pentingnya peran lembaga desa dan Karang Taruna untuk menghapus stigma penyakit paru-paru tersebut.
"Masyarakat tidak boleh takut atau menganggap TBC sebagai aib. Sosialisasi diperlukan agar bisa membantu meluruskan informasi-informasi yang ada," kata Nurochman.
Sebagai bentuk dukungan bagi kader kesehatan, Pemkot Batu menyerahkan bantuan alat kesehatan secara simbolis kepada beberapa perwakilan Posyandu. Sebanyak 193 Posyandu diberikan tiga tensimeter digital dan alat antropometri.
"Dulu kader harus bergantian meminjam alat atau membawa sendiri. Sekarang fasilitas kami cukupi agar pelayanan bisa mencapai sesuai standar," ujar Nurochman.
Sementara itu, Kepala Dinkes Kota Batu, Aditya Prasaja, merinci bahwa dari 24 desa/ kelurahan, layanan dokter sudah tersedia di 22 lokasi. Dua lokasi, yakni Torongrejo dan Ngaglik, masih terkendala renovasi dan kesiapan ruangan. Namun, untuk Desa Torongrejo ditargetkan beroperasi Januari 2026 mendatang.
"Konsepnya bukan satu dokter diam di satu desa, melainkan terjadwal di Polindes atau Pustu. Kami juga memantau intensitas pasien untuk efektivitas layanan," jelas Aditya.
Selain dokter umum, pihaknya tengah memperkuat layanan kesehatan gigi di wilayah Sumberbrantas, Sumberejo, Gunungsari, dan Bumiaji. Layanan psikolog klinis juga tersedia di Puskesmas Batu dan Sisir untuk memenuhi standar Kementerian Kesehatan.
Selain itu, Aditya juga menegaskan terkait penambahan tenaga kesehatan (nakes) dokter tidak membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) secara signifikan. Sedangkan tahun 2025 ini, terdapat penambahan sekitar 14-15 dokter, 19 perawat, dan 24 bidan di faskes-faskes naungan Dinkes Kota Batu tersebut.
"Penambahan dokter meningkatkan nilai kapitasi JKN dari Rp 6.000 menjadi Rp 7.000 per jiwa. Selisih kenaikan ini mencukupi untuk membiayai honor dokter tambahan," terangnya.
Dalam penanganan stunting, Kota Batu mendapatkan apresiasi insentif fiskal dari pemerintah pusat berkat kerja lintas sektor. Aditya memaparkan, penyebab stunting di Batu mayoritas bukan karena faktor spesifik medis seperti Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) atau prematur yang hanya menyumbang 10 persen, maupun infeksi berulang sebesar 30 persen.
"Mayoritas stunting terjadi pada anak dengan kondisi fisik baik, namun pemberian gizinya yang terkadang keliru. Satu contoh, ada orang tua menganggap kuah bakso atau mie yang didalamnya sebagai protein. Sehingga kolaborasi kita bagaimana menanamkan orang tua untuk memberi gizi yang baik kepada anak-anaknya, selain itu faktor sanitasi dan kebersihan lingkungan," kata Aditya.
Sementara itu, terkait Tuberkulosis (TBC), Pemkot Batu telah membentuk tim percepatan dan menyusun rencana aksi daerah sesuai amanat Perpres. Aditya mengakui tantangan terkait hal ini adalah stigma masyarakat dan pengobatan tidak konsisten sehingga berisiko menyebabkan putus obat dan resistensi obat (RO).
Aditya menekankan, bahwa pihaknya tidak memiliki instrumen untuk memaksa warga berobat, sehingga pendekatan edukasi menjadi kunci.
"Kami melakukan skrining aktif, termasuk di "kantong TBC' atau wilayah dengan konsentrasi kasus tinggi. Angka penemuan tinggi justru lebih baik agar pasien segera diobati dan tidak menularkan, daripada angka rendah tapi banyak kasus tidak terdeteksi," tegasnya.
Terkait Kawasan Tanpa Rokok (KTR), Dinkes telah membentuk Satgas dan memiliki regulasi Perda serta Perwali. Aditya menekankan aturan ini bukan melarang merokok, melainkan mengatur lokasi merokok.
Penyediaan fasilitas tempat merokok akan didahulukan sebelum penerapan sanksi denda yang berpotensi menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD).
"Ini bisa jadi sumber PAD bila ada yang melanggar, tetapi tempat fasilitas untuk tempat merokok harus disediakan dulu baru bisa dilakukan penekanan, dan Satgas KTR melakukan sosialisasi juga," katanya.





