SURABAYA ( LENTERA ) - Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah Current Biology mengungkap bahwa permukaan Tembok Besar China dilapisi oleh biological soil crust atau biokrust, sebuah komunitas mikroorganisme yang berfungsi sebagai lapisan pelindung alami terhadap degradasi struktural.
Temuan ini dipadukan dengan hasil ekskavasi arkeologi terbaru yang mengungkap teknologi material canggih era Dinasti Ming, memperlihatkan bahwa ketahanan Tembok Besar merupakan hasil interaksi kompleks antara biologi, material, dan lingkungan.
Biokrust adalah lapisan tipis yang terbentuk secara alami di permukaan tanah atau bangunan berbahan mineral, terutama di wilayah kering dan semi-kering. Lapisan ini tersusun atas cyanobacteria, alga, lumut kerak (lichen), lumut (moss), bakteri, dan jamur yang saling berinteraksi membentuk struktur mikro yang stabil.
Dalam konteks Tembok Besar China, biokrust bekerja layaknya 'kulit hidup' yang menyelimuti permukaan dinding tanah dan batu. Cyanobacteria menghasilkan zat lengket bernama extracellular polymeric substances (EPS), yang berfungsi merekatkan partikel tanah dan mineral. Proses ini secara signifikan mengurangi erosi akibat angin, hujan, dan fluktuasi suhu.
Selain itu, lumut dan lichen membantu mempertahankan kelembapan mikro, sehingga memperlambat proses pelapukan kimia yang biasanya dipicu oleh perubahan ekstrem antara kondisi basah dan kering.
Penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan dari China Agricultural University menganalisis enam lokasi sepanjang sekitar 600 kilometer bentangan Tembok Besar yang berada di zona iklim arid dan semi-arid. Dengan metode analisis mikrobioma modern, peneliti membandingkan bagian tembok yang tertutup biokrust dengan bagian tembok yang terbuka.
Hasilnya menunjukkan bahwa area yang memiliki biokrust mendukung kelimpahan dan keanekaragaman mikroba 12–62 persen lebih tinggi. Selain itu, kompleksitas jaringan interaksi mikroba yang lebih stabil. Kemudian peningkatan gen fungsional tahan stres sebesar 4–15 persen.
Gen-gen tahan stres ini berperan penting dalam menghadapi kondisi ekstrem seperti radiasi ultraviolet, kekeringan, dan suhu tinggi—faktor utama penyebab degradasi bangunan di wilayah gurun.
Secara bersamaan, biokrust juga menekan jalur metabolisme mikroba yang berpotensi merusak struktur, seperti produksi asam yang dapat mempercepat pelapukan material mineral.
Secara geologis, bangunan tanah dan batu mengalami kerusakan melalui dua mekanisme utama. Pertama, pelapukan fisik, akibat perubahan suhu dan tekanan. Dan kedua pelapukan kimia, akibat reaksi air, oksigen, dan zat asam.
Biokrust berperan menghambat keduanya. Lapisan mikroba mengurangi kontak langsung antara permukaan tembok dan faktor lingkungan, sekaligus menstabilkan suhu mikro di permukaan. Dengan demikian, laju pelapukan dapat ditekan dalam jangka panjang.
Inilah sebabnya para ilmuwan menilai biokrust sebagai agen konservasi alami, bukan sebagai organisme perusak seperti yang selama ini diasumsikan dalam praktik restorasi konvensional.
Teknologi Material Dinasti Ming
Penemuan biologis ini semakin relevan ketika dikaitkan dengan hasil eksplorasi arkeologi terbaru pada menara pengawas Tembok Besar era Dinasti Ming (abad ke-14 hingga ke-17).
Arkeolog menemukan meriam besi bertanggal 1632, lengkap dengan inskripsi manufaktur
Bukti adopsi desain meriam bergaya Eropa (Hongyipao). Kemudian, bata dengan spesifikasi teknis tertulis.
Selain itu, adukan kapur berbahan magnesium tinggi yang diperkuat serat tanaman. Dari sudut pandang ilmu material, campuran kapur dan serat organik ini meningkatkan kekuatan tarik dan daya rekat, sekaligus membuat struktur lebih tahan terhadap retakan mikro. Prinsip ini sejalan dengan konsep komposit modern yang digunakan dalam teknik sipil masa kini.
Selain struktur dan senjata, penggalian juga mengungkap sisa tanaman pangan, tanaman obat, tulang hewan, serta artefak batu pirus yang berasal dari berbagai wilayah China. Temuan ini menunjukkan bahwa kawasan Tembok Besar bukan sekadar zona militer, melainkan ruang hidup yang kompleks secara ekologis dan sosial.
Prasasti pada bata yang merekam keluh kesah pekerja pembangunan tembok menjadi bukti bahwa proyek ini melibatkan ribuan manusia dengan dinamika psikologis dan fisik yang berat, faktor yang kini turut dipelajari dalam kajian arkeologi manusiawi.
Temuan ini membawa dampak besar bagi ilmu konservasi. Pendekatan lama yang cenderung membersihkan mikroorganisme dari bangunan bersejarah kini dipertanyakan. Sebaliknya, ilmuwan menyarankan strategi pelestarian yang melindungi dan menstabilkan biokrust sebagai bagian dari ekosistem bangunan.
Pendekatan berbasis sains ini dinilai relevan bagi pelestarian cagar budaya dunia lainnya, terutama yang berada di wilayah tropis dan kering, termasuk situs bersejarah di Indonesia.
Dengan temuan-temuan ini, Tembok Besar China tidak lagi dipahami sebagai struktur mati, melainkan sebagai sistem hidup yang memadukan teknologi manusia dan proses biologis alami. Ketahanannya merupakan hasil sinergi antara kecerdasan teknik kuno dan kerja mikroorganisme yang berlangsung selama ribuan tahun.(Ist/dya)




