SURABAYA (Lentera) - Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya telah resmi menerapkan sistem parkir digital, di seluruh tempat usaha dan Tepi Jalan Umum (TJU) secara bertahap, mulai Jumat (19/12/2025). Kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan transparansi pendapatan parkir, melindungi pemilik usaha, sekaligus memastikan keadilan bagi semua pihak.
Terkait hal itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya, Rusdianto Sesung menilai potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor parkir sebenarnya sangat besar.
Ia mengungkapkan, hasil kajian akademisi menunjukkan potensi pendapatan parkir TJU di Surabaya dapat mencapai Rp55 miliar.
"Jadi ada kajian dari teman-teman akademisi juga di Surabaya, itu kalau parkirnya optimal potensi (PAD) bisa sampai Rp55 miliar dari parkir tepi jalan umum," kata Sesung, Sabtu (20/12/2025).
Sesung menjelaskan, pengaturan sistem pemungutan pajak dan retribusi secara digital telah diatur dalam Perda Nomor 7 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Perda itu memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menerapkan sistem online.
"Makanya di dalam penyusunan Perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di tahun 2023 yang sekarang menjadi Perda Nomor 7 tahun 2023 itu mengatur tentang ketentuan mengenai online dari sistem pajak daerah maupun retribusi daerah," jelasnya.
Menurutnya, terdapat empat tujuan utama penerapan sistem parkir digital tersebut. Pertama supaya tertib administrasi perpajakan dan retribusi. Kedua, supaya mengurangi atau menghindari kehilangan potensi pendapatan dari sektor pajak dan retribusi.
"Yang ketiga, agar lebih transparan dan akuntabel, sehingga pendapatannya akan lebih meningkat. Dan yang terakhir, agar memudahkan masyarakat," paparnya.
Ia menegaskan, jika penerapan sistem digital justru memberatkan masyarakat atau pelaku usaha, maka kebijakan tersebut keluar dari tujuan awalnya. Untuk itu, Sesung mengapresiasi, Pemkot Surabaya yang membuka ruang partisipasi publik dalam setiap pengambilan kebijakan.
"Dalam setiap pengambilan kebijakan, kalau di dalam hukum, itu yang disebut dengan meaningful participation (partisipasi bermakna)," tambahnya.
Lebih rinci, Sesung memaparkan partisipasi bermakna dalam perspektif hukum yang mencakup beberapa aspek. Yakni, Hak untuk Tahu (Right to Know), Hak untuk Didengar (Right to be Heard), Hak untuk Dipertimbangkan (Right to be Considered) dan Hak untuk Mendapat Penjelasan (Right to be Explained/Feedback).
"Jadi kenapa harus digital? Karena memang digital ini adalah perkembangan sosial yang tidak mungkin kita hindari. Dunia konvensional sudah mulai kita tinggalkan, kita menuju kepada digital," paparnya.
Sementara terkait pajak parkir 10 persen yang dipersoalkan pelaku usaha, Sesung menegaskan ketentuan tersebut bersifat wajib selama memenuhi syarat subjektif dan objektif.
"Jadi pajak itu adalah pungutan negara yang sifatnya memaksa. Konstitusi kita bicara begitu, pasal 23A Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,” ujarnya.
Ia menambahkan, ketentuan tersebut dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD). Dalam regulasi itu, parkir termasuk pajak barang dan jasa tertentu.
"Nah, parkir ini kan bagian dari pajak barang jasa tertentu. Jadi ketika terpenuhi syarat subjektif dan objektifnya, maka oleh undang-undang yang kemudian dituangkan lagi dalam Perda Nomor 7 Tahun 2023, sudah wajib pajak dia, harus bayar,” tutupnya.
Reporter: Amanah/Editor: Ais




