Libur Akhir Tahun, Minimnya Aksesbilitas ke Kebun Raya Mangrove Surabaya Dikeluhkan Pengunjung
SURABAYA (Lentera) – Menjelang libur akhir tahun 2025, Kebun Raya Mangrove Surabaya seharusnya menjadi destinasi unggulan wisata alam dan edukasi. Namun hingga kini, potensi besar yang dimiliki kawasan mangrove Wonorejo, Gunung Anyar, dan Medokan Sawah masih belum diimbangi dengan aksesbilitas sehingga kondisi ini menjadi keluhan pengunjung.
Pengunjung dikenai tiket masuk Rp15.000 untuk dewasa, parkir motor Rp5.000 dan mobil Rp10.000. Jika ingin menikmati wisata perahu menyusuri hutan bakau, pengunjung harus kembali merogoh kocek Rp25.000 untuk dewasa dan Rp15.000 untuk anak-anak (PP). Sayangnya, biaya tersebut belum sebanding dengan kenyamanan dan fasilitas yang diterima.
Salah satu keluhan utama adalah aksesibilitas. Hingga akhir 2025, belum tersedia jalur transportasi umum menuju kawasan wisata mangrove. Lokasi yang tersebar membuat pengunjung bergantung pada kendaraan pribadi atau transportasi online.
“Sepanjang jalan hampir tidak ada penunjuk arah ke mangrove, yang ada justru petunjuk bozem. Saya sampai bertanya-tanya sambil buka maps takut salah jalan,” kata Shinta, salah satu pengunjung asal Surabaya, Senin (22/12/2025).
Padahal, persoalan minimnya transportasi dan papan petunjuk sudah tercatat dalam kajian Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Surabaya sejak 2020. Lima tahun berselang, persoalan tersebut nyaris tak bergerak.
Fasilitas di dalam kawasan pun masih bersifat dasar. Toilet, musala sederhana, area parkir, serta jogging track bambu belum dirawat optimal. Sentra wisata kuliner yang dijanjikan dalam strategi pengembangan 2025 tak lebih dari deretan lapak kosong tanpa aktivitas.
“Sentra kulinernya cuma papan nama. Tidak ada penjual sama sekali. Kalau ke sini lagi, harus bawa bekal sendiri,” tambahnya.
Di sisi lain, konflik antara konservasi dan ekonomi juga belum menemukan solusi. Data Universitas Airlangga menunjukkan sekitar 40 persen hutan mangrove di kawasan Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya) masih rusak akibat alih fungsi lahan menjadi tambak.
Upaya rehabilitasi pun belum maksimal, dengan tingkat kematian tanaman bakau mencapai 5–10 persen akibat salah waktu tanam, jenis tanaman yang tidak sesuai, serta pencemaran sampah plastik.
Menanggapi hal itu, anggota Fraksi Gerindra, Yona Bagus Widyatmoko, menilai sektor pariwisata Kota Surabaya, termasuk wisata mangrove, masih berjalan di tempat tanpa terobosan berarti, meski tekanan fiskal daerah semakin berat.
“Surabaya ini punya aset wisata, tapi pengelolaannya setengah hati. Tidak ada lompatan inovasi. Kalau begini terus, jangan berharap sektor pariwisata bisa menjadi penopang PAD,” kata Yona, Senin (22/12/2025).
Menurut Yona, kondisi tersebut mencerminkan pola pengelolaan pariwisata yang cenderung birokratis dan minim keberanian mengambil keputusan strategis. Ia menegaskan, ketika dana transfer dari pemerintah pusat terus berkurang dan APBD semakin tertekan, pariwisata seharusnya menjadi sektor yang digarap serius, bukan sekadar wacana.
“Kalau wisata mangrove diklaim sebagai satu-satunya kebun raya mangrove di Indonesia, harusnya itu jadi kekuatan ekonomi. Tapi faktanya, pengunjung masih rendah dan kontribusi PAD nyaris tidak terasa. Ini soal manajemen dan visi,” tegasnya.
Yona juga mendorong Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya agar tidak ragu melibatkan pihak profesional dan swasta dalam pengelolaan wisata.
"Buka ruang kolaborasi juga dengan masyarakat sekitar agar konservasi dan ekonomi bisa berjalan seimbang," tutupnya. (*)
Reporter: Amanah
Editor : Lutfiyu Handi





