10 April 2025

Get In Touch

Menikmati Shalat Jumat di Blue Mosque

Menikmati Shalat Jumat di Blue Mosque

Tukey - Shalat hari Jumat di Istanbul. Tempat persisnya di Blue Mosque atau Masjid Biru. Dingin-dingin hangat. Dingin di luar masjid. Hangat di dalam masjid. Musim salju mulai turun di beberapa Negara Eropa. Termasuk di Turki.
Dingin. Suhu pada bulan Januari-Maret 2019 ada pada kisaran 4 derajat. Ketika menghembuskan napas, keluar dari mulut adalah asap. Saat berwudhu, air yang keluar menyentuh kulit berasa panas. Seperti digosok es batu.

Hangat. Di dalam masjid duduk diapit warga setempat. Badan kekar. Berjaket besar. Berukuran longgar. Orang Turki saja kedinginan. Apalagi macam saya. Jemaah perempuan disediakan tempat untuk mengikuti shalat Jumat. Tetapi tempatnya di lantai dua. Harus naik tangga.

Rombongan saya terpaksa berpencar. Empat perempuan naik ke atas. Tujuh pria masuk dari pintu yang berada di bawah. Ruangan utama belum terlalu penuh. Tapi kutbah sudah berlangsung.

Para jemaah menghadap kiblat. Seperti di Indonesia. Sedangkan pemberi kutbah berada di sebelah selatan. Duduk di atas mimbar. Menghadap ke utara. Kejadian ini tentu di luar kebiasaan.

Lebih dari setengah jam lamanya. Seorang petugas menaiki tangga. Sepertinya mengingatkan. Berbisik kepada pengkutbah. Sebelum berakhir, doa bersama. Setelah itu pemberi kutbah turun.

Tak lama kemudian suara adzan berkumandang. Semua jamaah berdiri. Mengangkat tangan. Takbir dan shalat. Saya bertanya orang di sebelah. Ternyata shalat sunah. Teman saya bilang, sebagian besar umat Muslim Turki menganut mahzab Imam Abu Hanifah. Memang terasa agak lama. Dibanding salat Jumat di Indonesia pada umumnya.

Rupanya dari sini 'ritual jumatan' sesungguhnya bermula. Khatib naik mimbar. Posisi mimbar seperti pada umumnya, ada di barat. Menghadap timur. Memberi kutbah sambil berdiri. Menghadap arah jamaah. Menyerupai tata cara selama ini. Sesi pertama menyampaikan pokok materi kutbah. Berikutnya sesi kedua diisi doa penutup.

Bubar shalat Jumat. Menuju pintu keluar. Jemaah saling berimpitan. Terombang-ambing. Seperti diayun gelombang air pasang. Hanyut ke kanan atau ke kiri. Semua jemaah merasakan hal yang sama. Tanpa keluhan. Sedikit pun tak ada teriakan. Pengalaman menyenangkan.

Selama waktu shalat, turis asing dilarang masuk. Mereka, boleh masuk setelah proses shalat selesai. Itupun melalui pintu sebelah utara. Pengunjung non muslim diarahkan untuk masuk dan keluar lewat satu pintu ini. Pintu utama atau pintu barat lebih diperuntukkan bagi orang yang hendak menunaikan sholat di masjid ini.

Peraturan ketat. Wisatawan wajib berpakaian sopan saat memasuki ruang masjid. Wanita harus mengenakan kerudung. Turis asing atau tamu non muslim cukup melihat dari belakang. Tak bisa menjangkau bagian depan. Karena tempat shalat. Penjaga selalu siap mengingatkan di depan pintu masuk.

Interior marmer

Blue Mosque si masjid Biru. Simbol kejayaan Islam pada masa Kekaisaran Utsmaniyah, Turki di masa lampau. Dibangun antara tahun 1609 sampai 1616 atas perintah Sultan Ahmed.

Akibat jumlah menara yang sama dengan Masjidil Haram di Makkah, Sultan Ahmed I mendapat kritikan tajam. Akhirnya beliau menyumbangkan biaya pembuatan menara ketujuh untuk Masjidil Haram.

Masjid Biru salah satu tujuan utama wisatawan ke Istanbul. Letaknya tak jauh dari tepian laut Marmara. Saat ini merupakan masjid terbesar di Turki. Semacam ciri khas dari Kota Istanbul.

Disebut dengan sebutan Masjid Biru karena pada masa lalu interiornya memang berwarna biru. Cat biru bukan merupakan bagian dari dekor asli Masjid. Warna kubahnya dari kejauhan malah cenderung abu-abu. Nah, warna kebiru-biruan justru akan terlihat dari dekat.

Laut Marmara tampak indah. Terlihat jelas saat berada di masjid ini. Saat langit mulai senja semakin mempesona. Sebaliknya. Dilihat dari laut, kubah dan menaranya mendominasi cakrawala kota Istanbul. Karena keindahannya, masjid ini pun menjadi maskot.

Elemen penting dalam masjid ini adalah mihrab. Terbuat dari marmer. Bukan sembarang marmer. Karena diambil dari dalam laut Marmara. Sekarang menjadi jelas mengapa dinamakan Laut Marmara. Marmara artinya marmer. Di Masjid Biru marmer dpahat dengan hiasan stalaktit dan panel incritive dobel di atasnya.

Masjid Biru sungguh istimewa. Dalam kondisi jemaah paling penuh sekalipun, semua orang di dalam masjid tetap dapat melihat dan mendengar Imam.

Sejauh mata memandang. Setidaknya setelah kondisi mulai sepi, saya belum menemukan rombongan wisata berasal dari Tanah Air.
Alhamdulillah. Rombongan saya bisa masuk. Sekaligus melaksanakan shalat Jumat di Blue Mosque atau si Masjid Biru.

Situasi luar masjid, hujan turun rintik-rintik. Meskipun payungan tetap saja kedinginan. Sekujur tubuh menggigil. Akibat tampias air hujan [ABH].

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.