
BATU (Lenteratoday) - Baru-baru ini banyak kasus kekerasan seksual, dibicarakan di sosial media. Hal ini digunakan untuk merebut atensi publik agar korban mendapat keadilan.
Akan tetapi praktik tersebut adalah cerminan lemahnya perlindungan hukum bagi korban kekerasan dan pelecehan seksual di Indonesia. Sebuah kasus harus melewati banyak proses terlebih dahulu, sebelum akhirnya maju ke meja hijau.
Sulitnya mencari keadilan bagi korban kekerasan dan pelecehan seksual ini yang memicu lahirnya Rancangan Undang-undang Perlindungan Kekerasan Seksual (RUU PKS) ini.
Sejak diusulkan pada tahun 2012 oleh Komnas Perempuan, RUU PKS mendapat banyak penolakan. Kabar miring dan simpang siur soal isi RUU menjadi landasan utama tarik ulur pengesahannya. Padahal, tak ada keterangan atau peraturan seperti yang selama ini dituduhkan.
Kasus kekerasan seksual dan pelecehan seksual menurut catatan Komnas perempuan, selalu mengalami peningkatan, akan tetapi tak ada payung hukum yang sepadan. Pada 2020, ada 431.471 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan Komnas Perempuan. Itu, hanya data yang tercatat, dalam artian, hanya kasus yang dilaporkan pada komnas perempuan saja.
Kasus kekerasan semakin meningkat, urgensitas ada di depan mata. Salah satu kasus yang tengah mencuat adalah kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh JE, pemilik sekolah SMA Selamat Pagi Indonesia, Batu. Perbuatan jahat JE dilakukan pada puluhan anak-anak, yang bersekolah di tempatnya.(ree)