Stunting di Jatim Masih Tinggi, PKK Jatim Gandeng BKKBN Bikin Sekolah untuk Para Orangtua Balita

SURABAYA (Lenteraroday) - Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan (DP3AK) Jatim, prevalensi stunting di Jatim mencapai angka 26,8 persen. Ini menunjukkan masalah kesehatan yang cukup serius.
Untuk menurunkan angka stunting, harus ada kerjasama berbagai sektor terkait serta peran serta aktif dari masyarakat Jatim sendiri. Karena itu, Tim Penggerak (TP) PKK Provinsi Jatim terus berkolaborasi dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Perwakilan Jatim untuk menurunkan angka kurang gizi kronis (stunting). Bentuk kolaborasi yang dilakukan yakni melalui program sekolah bagi orang tua yang memiliki balita. Program ini bertujuan memberi pembekalan pada para orangtua balita dalam merawat agar terhindar dari kasus stunting.
“Program ini dibuat agar orangtua mampu mengasuh anak mereka dengan benar. Sebagian besar balita terkena stunting disebabkan minimnya pengetahuan orang tua dalam merawat balita,” tutur Ketua TP PKK Jatim Arumi Bachsin Emil Dardak
"Untuk mewujudkan program tersebut, TP PKK Jatim siap menggerakkan seluruh kader di tingkat kabupaten/kota. Utamanya untuk ikut mensosialisasikan program sekolah bagi orang tua yang memiliki balita. Ini tanggung jawab baru dan pasti kita gerakkan kader-kader PKK sekaligus memberikan sosialisasi terkait program tersebut," tambahnya.
Menurut Arumi, kolaborasi antara TP PKK dan BKKBN Jatim sudah terjalin cukup lama. Salah satunya menjalankan program kampung Keluarga Berencana (KB) dan kontrasepsi. “Sebelumnya, PKK dan BKKBN Jatim memiliki hubungan yang sangat baik di segala jenjang,” tuturnya.
Dengan adanya kolaborasi semacam itu, lanjut Arumi, akan semakin memupuk semangat untuk bersama-sama berkomitmen membangun generasi bangsa yang cerdas dan bermartabat. "Merekatkan kembali hubungan karena sasaran kami sama, yakni keluarga," tuturnya.
Arumi mengatakan dalam pencegahan stunting di Jatim, peran PKK salah satunya yakni meningkatkan kesadaran masyarakat dengan menggerakkan peran kader PKK. Upaya tersebut bertujuan agar memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pengetahuan dan kesadaran keluarga akan pentingnya kesehatan ibu dan anak (KIA).
"Selain itu, peningkatan upaya advokasi dan perencanaan yang mendukung pemberdayaan masyarakat serta pemuktahiran data dan informasi," jelasnya.
Sementara itu, Kepala BKKBN Perwakilan Jatim Sukaryo Teguh Santoso menuturkan rencana program sekolah bagi orang tua yang memiliki balita sudah ditetapkan sebagai pilot project di Kabupaten Pasuruan. Namun karena pandemi, masih sedikit agak terhambat dan ini akan ditindaklanjuti oleh TP PKK.
Lebih lanjut Teguh menjelaskan, skema pembelajaran bagi orang tua dalam mengasuh balita diberikan secara tidak formal. Akan tetapi, menurutnya, sifatnya non formal. "Nanti ada pembelajaran tatap muka, ada pula pembelajaran daring karena masih pandemi Covid-19," ungkapnya.
Dengan adanya program semacam itu, Teguh berharap, angka stunting di Jatim menurun. Pasalnya, secara persentase angka stunting di Jatim saat ini mencapai 26,8 persen. "Semoga angka stunting menurun karena kalau melihat ritmenya hingga 2024, mungkin bisa turun sampai 14 persen," jelasnya.
Hal senada juga diungkapkan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan (DP3AK) Jatim Andriyanto yang menyebut prevalensi stunting di Jatim sebesar 26,8 persen. Menurutnya ini menunjukkan masalah kesehatan yang cukup serius.
"Stunting terjadi karena dampak kekurangan gizi kronis selama 1.000 hari pertama kehidupan. Kerusakan yang terjadi mengakibatkan perkembangan anak yang irreversible (tidak bisa diubah), anak tersebut tidak akan pernah mempelajari atau mendapatkan sebanyak yang dia bisa," katanya.
Ia menambahkan studi-studi saat ini menunjukkan bahwa anak stunting sangat berhubungan dengan prestasi pendidikan yang buruk, lama pendidikan yang turun, dan pendapatan yang rendah sebagai orang dewasa. Artinya anak stunting menghadapi kemungkinan yang lebih besar untuk tumbuh menjadi dewasa yang kurang pendidikan, kurang sehat, dan lebih rentan terhadap penyakit tidak menular.
"Oleh karena itu, anak stunting merupakan prediktor buruknya kualitas sumber daya manusia yang diterima secara luas, yang selanjutnya menurunkan kemampuan produktif masyarakat pada masa yang akan datang," pungkasnya. (ist)