
JAKARTA (Lenteratoday) - Bagaimana kebijakan pembelajaran tatap muka (PTM) setelah PPKM Darurat usai di 25 Juli besok? Pertanyaan atas kebijakan ini terus muncul seiring kebijakan yang kini berubah nama menjadi PPKM Level 4-1 sesuai tingkat risiko daerah.
Untuk diketahui, saat ini sebenarnya sekolah tatap muka terbatas telah dilakukan di 35% wilayah Indonesia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun sudah menentukan sikap kebijakan ke depan.
"Pembelajaran akan berlangsung secara dinamis dan menyesuaikan risiko kesehatan yang berlangsung, yakni kalau PPKM baik PPKM Mikro atau darurat harus ada modifikasi. Harus ada perubahan yang terjadi," kata Mendikbud Nadiem Makarim dikutip Sabtu (24/7/2021).
Dia mengatakan semua aturan pembelajaran tatap muka diatur dalam SKB (surat keputusan bersama) empat menteri dan mengedepankan kehati-hatian dan kesehatan semua insan pendidikan.
Sebelumnya, SKB tersebut menyatakan pada tahun ajaran baru 2021-2022 yakni Juli, sekolah diberikan opsi untuk melaksanakan PTM terbatas untuk menghindari dampak-dampak negatif berkelanjutan pada peserta didik.
Dengan adanya PPKM Darurat, ada tujuh provinsi yang wajib melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) yakni DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali.
Daerah-daerah ini tidak diperkenankan melakukan pembelajaran tatap muka terbatas hingga PPKM Darurat berakhir.
"Satuan pendidikan di luar tujuh provinsi tersebut bisa memberikan opsi tatap muka terbatas sesuai SKB yang sudah ditentukan," katanya.
"Orang tua atau wali di luar wilayah ini memiliki kewenangan penuh untuk memberikan izin pada anaknya untuk memilih apakah PTM Terbatas atau PJJ. Jadi hanya di tujuh provinsi ini yang belum diperkenankan tatap muka."
Sebelumnya, dia mengatakan alasan mengapa sekolah tatap muka terbatas harus dibuka. Ini karena lamanya melakukan PJJ memberikan dampak negatif pada anak.
Menurutnya, ada hal yang anak-anak alam. Seperti kebosanan di dalam rumah, jenuh dengan begitu banyaknya video conference yang mereka lakukan di rumah.
Tidak hanya itu, kondisi belajar yang tidak dinamis, kesepian, dan siswa mengalami depresi karena tidak bertemu dengan teman-teman dan gurunya. Bahkan, permasalahan domestik mulai dari stres yang disebabkan terlalu banyak berinteraksi di rumah dan kurang keluar rumah.
"Infrastruktur dan teknologi juga tidak memadai. Ini jelas PJJ ini sudah terlalu lama dan kita tidak bisa tunggu lagi dan mengorbankan kesehatan dan mental dari murid-murid kita," ungkapnya beberapa waktu lalu.(ist)