
MALANG (Lenteratoday) - Penangkapan terduga terorisme di Kota Malang, 16 Agustus lalu sempat membuat geger warga setempat. Pasalnya, warga sekitar tidak menyangka pasutri CA terlibat aksi teroris. Di samping itu, pasutri ini memiliki 3 anak yang masih belia, dan terpaksa harus dibawa saat mereka ditangkap Densus 88.
CA (41) diduga terlibat dalam jaringan terorisme. Ia ditangkap pukul 12.00 WIB di depan rumahnya. Beberapa menit setelahnya, istri CA ikut dibawa untuk dilakukan pemeriksaan berlanjut.
CA meninggalkan 3 orang anak dengan usia yang masih sangat belia. Kabar terakhir, ketiga anak CA ikut dibawa beserta istri untuk menjalani pemeriksaan. Dalam hal ini, ketiga anak CA terhitung sebagai korban, sebab mereka masih di bawah umur dan belum tentu terpapar radikalisme.
Meskipun berstatus anak dari terduga, namun pemenuhan hak anak tetap harus dipenuhi. Hikmah Bafaqih, Wakil Ketua Komisi E DPRD Jawa Timur menegaskan, anak dari terduga terorisme belum tentu terpapar radikalisme, bisa jadi ia resistance, atau bahkan menjadi korban.
Maka dari itu, butuh pendampingan yang layak, bagi setiap anak terduga, meski tidak terlibat, akan tetapi proses penangkapan orang tua yang ia saksikan bisa menimbulkan trauma bagi si anak.
Negara harus hadir dalam pemenuhan hak anak, harus bisa menjamin kebutuhan dasar anak-anak ini terpenuhi, selama orang tuanya tidak ada.
Sampai hari ini, belum ada program dari negara yang secara hukum bisa memberikan jaminan itu pada anak-anak, khususnya korban dari radikalisme. “Pemerintah memang belum memiliki program khusus untuk menjamin hak anak terpenuhi, selama ini yang kita lakukan hanya secara kontemporer saja, sisanya kita biasa melakukan kerja sama dengan NGO (Non Goverment Organization) atau lembaga di luar pemerintah, atau yayasan yang bisa menampung anak-anak,” terangnya.
Penyelamatan anak-anak dari terduga terorisme untuk memutus rantai radikalisme, menurut Hikmah, sah-sah saja, namun hal tersebut bukanlah perspektif dasar. Namun untuk isu pemenuhan hak dasar anaklah yang menjadi utama, bagaimana sekolahnya, kebutuhan gizinya, siapa walinya, semua hal inilah yang harus dipenuhi terlebih dahulu.
"Jangan diputus di masalah yang lain dulu, karena penting sekali ngomong perspektif ini, agar apa yang kita lakukan yang terbaik bagi anak-anak ini betul-betul terpenuhi," ujarnya menjelaskan.
"Jangan karena soal stabilitas menjadikan kita mengesampingkan kebutuhan aspek psikis anak," sambungnya.
Banyak pendekatan pemerintah yang dilakukan pada anak terduga teroris sebagai pendekatan keamanan, bukan perlindungan. Padahal ini adalah langkah yang kurang tepat, anak lebih butuh pendekatan perlindungan.
"Anak-anak harus dilihat sebagai korban, orang tuanya melakukan pelanggaran hukum berat maka anak-anak ini adalah korban. Negara harus hadir, dalam hal apa negara harus hadir? Untuk seluruh yang harusnya diterima oleh anak-anak, karena ada dalam beberapa kasus anak-anak jihadis ini tidak memiliki ID, tidak sekolah di tempat umum, atau ada yang lebih parah, tidak mau mengobati anaknya ke Rumah Sakit, karena menilai Rumah Sakit adalah milik pemerintahan yang thogut, nah disini negara perlu hadir untuk menjamin hak-hak anak yang hilang itu," kata Hikmah pada Rabu (18/8/2021).
Sementara itu, sampai berita ini ditulis, belum ada informasi lebih lanjut terkait nasib anak-anak terduga teroris. Penny Indriani, Kepala Dinas Sosial Kota Malang, masih belum memberi tanggapan mengenai hal ini. (ree)