
SURABAYA (Lenteratoday) – Penyelesaian rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan Keluarganya menemukan urgensitas dan mometumnya yang tepat. Hal ini seiring dengan banyaknya PMI asal Jawa Timur yang kembali ke kampung halamannya.
Dari data terbaru, selama 2021 setidaknya ada 4.3176 PMI yang putus kontrak maupun dideportasi. Dari jumlah tersebut, jumlah yang putus kontrak relatif lebih sedikit yaitu kurang dari 5%, sedangkan yang terbanyak adalah yang non prosedural dan dideportasi.
"Ini momentumnya pas. Kita juga hendak mengatur agar yang non prosedural ini bisa dicegah kalau toh terjadi setidaknya bisa dilayani dengan baik,” kata Wakil Ketua Komisi E Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Provinsi Jawa Timur, Hikmah Bafaqih, saat melaporkan Raperda inisiatif Perlindungan PMI dan Keluarganya dalam rapat paripurna, Senin (27/9/2021).
Hikmah menyampaikan sebelumnya ada kabar baik bahwa Bandara Internasional Juanda tidak lagi menjadi titik kepulangan deportasi PMI dan difokuskan di Manado dan Jakarta, namun kabar terakhir kembali dibuka. Dia juga menyampaikan bahwa kepulangan PMI pada gelombang kedua Covid-19 sudah mencapai 30 ribu PMI dideportasi baik yang secara prosedural maupun non procedural.
Kondisi tersebut, khususnya untuk PMI yang non prosedural karena jumlahnya cukup banyak maka membutuhkan penanganan yang luar biasa ekstra ketat, ekstra harus manusiawi karena mereka dalam posisi yang sangat mustad afin.
Hikmah yang merupakan politisi dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini menandaskan bahwa Raperda tentang Perlindungan PMI dan Keluarganya ini merupakan inisiatif DPRD Provinsi Jawa Timur pada tahun 2020. “Setelah ini selesai berarti kami membantu setidaknya untuk menaikkan indeks demokrasi Jawa Timur yang turun drastis karena tidak adanya Perda inisiatif yang disahkan,” tandasnya.
Setelah melalui proses pembahasan akan dilanjutkan dengan public hearing guna menyerap aspirasi masyarakat. Pembahasan Raperda ini juga telah disesuaikan dengan kewenangan daerah provinsi Jawa Timur dan perkembangan peraturan perundang-undangan, serta kebutuhan daerah untuk menyelesaikan berbagai permasalahan PMI asal Jawa Timur dan keluarganya.
Untuk itu, setidaknya ada lima politik hukum yang hendak diwujudkan dalam pembentukan Raperda tersebut. Yaitu, pertama, meningkatkan jumlah PMI asal Jawa Timur yang bekerja pada jabatan formal atau skill melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan kerja oleh pemerintah dan pihak swasta yang berjejaring dan tidak dibebani biaya pelatihan. Kemudian, mengintensifkan kerjasama dengan jaringan pasar kerja formal di luar negeri lewat berbagai lini.
Kedua, meningkatkan layanan penempatan dan perlindungan PMI serta penyelesaian permasalahan PMI sebelum dan setelah bekerja. Ketiga, memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan hak PMI dan keluarganya sebelum, selama, dan setelah bekerja.
“Mengapa keluarga PMI? karena PMI hanya bisa bekerja dengan baik dan produktif apabila keluarganya, anak-anaknya, suami yang ditinggal, istri yang ditinggal dalam kondisi baik-baik saja,” katanya.
Keempat, meningkatkan peran pemerintah Kabupaten dan Kota serta pemerintah desa asal PMI serta partisipasi masyarakat dunia usaha dan dunia industry, perusahaan, organisasi profesi dan Lembaga Pendidikan termasuk tinggi untuk menjadi bagian dari gerakan inklusi sosial bagi PMI dan keluarganya dengan berbagai respon-respon yang konstruktif.
Dan kelima, mencegah keberangkatan PMI non prosedural melalui pembentukan satuan tugas pencegahan PMI non-prosedural. “Kalau hari ini dideportasi oleh Malaysia 30 ribu lebih banyak dari Sampang, lalu Bangkalan, lalu Pamekasan, lalu Jember, tentu ini menjadi keprihatinan kita semua. Bagaimana kedepannya berangkat non-prosedural ini tidak menjadi pilihan bagi warga kita,” katanya.
Kemudian, untuk mewujudkan politik hukum pembentukan Perda tersebut, maka diperlukan sinergitas antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi Jawa Timur, pemerintah kabupaten kota, pemerintah Desa asal PMI, serta masyarakat.
Berdasarkan hasil pembahasan Raperda ini menghasilkan beberapa hal yang harus dilakukan Provinsi Jawa Timur setelah perda ini diundangkan. Kemudian jugaharus diikuti dengan kebijakan anggaran. Jika tidak ada anggaran, maka nantinya Perda ini hanya akan menjadi macan kertas.
Di antara kewajiban Pemprov Jatim adalah menambah jumlah balai latihan kerja (BLK) khusus untuk daerah basis PMI. Kemudian, melakukan pelatihan kerja bagi calon PMI asal Jawa Timur serta menangung biaya untuk memperoleh sertifikat kompetensi yang diselenggarakan oleh BLK Provinsi atau Swasta.
"Hari ini ternyata PJTKI kita banyak terpuruk karena Covid-19 yang berkepanjangan. Hadirnya dana pelatihan itu disambut dengan gembira dan Jawa Timur satu-satunya provinsi di Indonesia yang memberikan pos anggaran itu,” kata Hikmah.
Pemprov Jatim juga harus melakuan fasilitasi kepulangan PMI dan keluarganya asal Jawa Timur jika terjadi hal darurat. Melakukan fasilitasi penyelesaian hak PMI yang belum terpenuhi. Membuka layanan pengaduan PMI di debarkasi yang diberikan secara langsung maupun secara online. Melakukan pendataan PMI dan keluarganya.
Kemudian, melakukan rehabilitasi sosial, integrasi sosial, serta pemberdayaan bagi PMI dan keluarganya. Melakukan pemenuhan keluarga PMI, suami, istri, anak, dan orang tua termasuk hubungan karena putusan dan penetapan pengadilan baik yang berada di Indonesia maupun yang tinggal bersama PMI di luar negeri. Pemprov juga harus membentuk dan melakukan optimalisasi Satgas pencegahan PMI non-prosedural. Penanganan ini betul-betul harus serius, Hikmah menilai, masalah ini luar biasa multiplayer efeknya.
Pemprov juga diharapkan membentuk rumah singgah perlindungan PMI sebagai pusat pelayanan pelindungan PMI dan keluarganya yang bermasalah. Serta, memberikan perlindungan hukum sosial dan ekonomi serta jaminan sosial bagi PMI dan keluarganya. Selain itu juga masih banyak yang harus dilakukan Pemprov Jatim guna memberikan perlindungan pada PMI dan keluarganya. (ufi)