
SURABAYA (Lenteratoday) - Di era digital saat ini, arus informasi demikian cepat silang menyilang di tengah masyarakat, baik melalui cetak, radio maupun internet. Tidak hanya media pers, informasi dari media sosial malah lebih cepat dan beragam. Sayangnya, informasi dari media sosial ini tidak selalu bisa dipertanggungjawabkan dari segi fakta dan etika.
Hal ini mendorong pihak BPDSMP Kominfo Surabaya bersama Sekolah Tinggi ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa-AWS) untuk menyelenggarakan Pelatihan Digital Media Reporter yang dilaksanakan pada tanggal 25 Oktober hingga 5 November 2021. Kegiatan yang juga menjadi rangkaian DIES Natalis STIKOSA AWS Ke 57 ini, juga untuk menjawab tantangan era digital dimana dunia jurnalistik juga bertransformasi pada platform digital. Demikian dikatakan Ketua Sekolah Tinggi ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa-AWS), Dr Meithiana Indrasari ST. MM, Jum’at (5/11).
“Selain sejalan dengan bidang ilmu dari STIKOSA AWS, ini juga usaha pemerintah untuk meningkatkan ketrampilan para wartawan, di era digital. Kita semua sama sama bertanggung jawab atas arus pemberitaan di masyarakat,” tutur Meithiana.
Ketua STIKOSA-AWS, Dr Meithiana Indrasari ST. MM.
Dilihat dari 9 macam materi yang diberikan dalam pelatihan tersebut, mulai membuat berita, pengecekan fakta, hingga tools analytic untuk membuat sebuah pemberitaan, bertujuan untuk meningkatkan ketrampilan wartawan. “Ketrampilan ini adalah sebuah keniscayaan untuk seorang jurnalis, terutama media siber,” ujarnya.
Mei pun menwanti-wanti, agar wartawan tetap berada dalam rel tugasnya yang memegang erat kode etik jurnalistik. “Jangan sampai wartawan yang menyebarkan berita hoax, karena wartawan sendiri harus menyajikan informasi dari berbagai sumber, jadi jangan sampai wartawan menyebarkan berita yang tidak cover both side,” tegas Meithiana.
Terkait informasi hoax tersebut, salah satu instruktur pelatihan, Drs. Machmud Suhermono M.Kom., M.IP., juga mengakui kecepatan media sosial menyajikan sebuah infomasi, tanpa konfirmasi pihak terkait. Bahkan tanpa etika, seperti menampilkan korban kecelakaan begitu saja.
“Tidak mungkin media pers menandingi kecepatan media sosial, namun media pers punya kedalaman, punya etika jurnalistik, sehingga bisa menjadi klarifikator. Di situlah pentingnya media pers. Karena itu media pers juga harus bermain di media sosial, sebagai klarifikator itu tadi,” tutur Machmud.
Machmud juga mengatakan, perkembangan revolusi industri saat ini mendesak orang untuk terjun ke dunia digital. “Di bidang marketing, sudah ada marketplace, orang sudah bisa mengerjakan pekerjaannya di rumah tanpa perlu ke kantor, begitu juga media pers, harus terjun ke ranah digital. Media sosial juga bisa dijadikan ruang promosi, meningkatkan jumlah pembaca sekaligus menambah kapitalisasi,” tuturnya.
Adanya pelatihan ini diharapkan bisa meningkatkan kemampuan media pers bermain di dunia digital. Meski diakui Machmud, pelatihan ini tidak akan menunjukkan hasil secara cepat, namun dengan digelar secara massif dengan berbagai evaluasi, di berbagai wilayah, bisa makin mendekati tujuan yang diharapkan.
Sejalan dengan harapan tersebut, jurnalis dari Agropolitan Televisi, Benaya Ryamizard Harobu, menyampaikan dirinya menemukan banyak hal baru tentang jurnalisme yang berbasis digital, seperti bagaimana seorang reporter harus meng-upgrade kemampuannya masing-masing, sehingga nantinya tidak kalang kabut menghadapi era yang serba digital.
Sementara peserta lainnya yang berprofesi sebagai dosen Komunikasi dam Penyiaran Islam IAI Tarbiyatut Tholabah Lamongan, Intihaul Khiyaroh mengatakan, materi pelatihan ini memberikan pengetahuan baginya bagaimana menyikapi informasi di media sosial yang marak tetapi tidak jelas kebenarannya. ”Materi yang saya dapatkan akan saya dijadikan bahan perkuliahan di kampus tempat saya bekerja,” tuturnya.
Reporter : Endang Pergiwati
Editor : Widya