
MALANG (Lenteratoday) - Mom shaming atau yang bisa juga disebut sebagai diskriminasi pada seorang ibu, kerap dialami ibu muda. Padahal mom shaming bisa mempengaruhi mental ibu, dan membawa dampak yang cukup signifikan pada kesehariannya.
Mom shaming sebenarnya sudah terjadi sejak dahulu, biasanya mom shaming bisa dilakukan oleh orang-orang terdekat, bahkan dari keluarga. Mengomentari bagaimana mengasuh anak adalah hal yang paling sering dilontarkan oleh pelaku mom shaming.
Berdasarkan survey yang dilakukan bukareview pada 208 ibu muda (Milenial atau older gen Z) 91% diantara mereka merasa bahwa mom shaming makin marak terjadi. Sebanyak 88% ibu muda mengaku pernah mendapat mom shaming, sedangkan 12% lainnya tidak merasa pernah mendapatkan mom shaming.
Berdasarkan survey tersebut, 103 ibu mengatakan, jika mom shaming bisa terjadi akibat ketidaktahuan akan dampak yang bisa muncul akibat mom shaming. Sebanyak 41 orang menyatakan, mungkin saja mom shaming terjadi akibat insecurity ibu, sehingga mereka melampiaskan insecure itu pada tindakan mom shaming, 40 yang lain mengatakan, jika rasa iri bisa mentrigger terjadinya mom shaming, dan 24 ibu menyatakan, mom shaming bisa terjadi akibat banyaknya ibu-ibu yang membagikan soal anaknya di media sosial.
Menurut Psikologi Vera Itabiliana, S.Psi, M.Psi, tidak semua bentuk kritikan dikategorikan sebagai mom shaming. Mom shaming harus dilihat dari dua sisi, yakni sisi yang memberikan pernyataan dan sisi yang mendengarkannya.
Jika kritikan tersebut bersifat membangun, maka tidak bisa disebut sebagai mom shaming meskipun cara penyampaiannya terkesan menghakimi. “Dibutuhkan kepekaan dari sisi yang mendengarkan untuk memfilter omongan orang lain,” ujar Vera.
“Kemudian baca juga raut wajah orang yang berbicara. Jika raut wajah yang menunjukkan rasa tidak suka, bisa jadi statement yang dilontarkan adalah mom shaming,” imbuhnya.
Vera juga menjelaskan bahwa ucapan yang tergolong mom shaming umumnya diikuti dengan ciri-ciri tertentu seperti intonasi, gaya menulis dan pemilihan kata yang terkesan menyudutkan dan menghakimi. Biasanya dilakukan di ranah umum (tapi bisa juga secara personal) dengan tujuan untuk mempermalukan karena menganggap dirinya lebih baik.
Padahal menjadi seorang ibu merupakan proses adaptasi yang tidak mudah dan tidak akan pernah selesai. Bagaimana cara seseorang beradaptasi terhadap peran barunya sebagai seorang ibu, bisa jadi berbeda dengan ibu lainnya.
Selain itu, lanjutnya, kebutuhan dan situasi yang dihadapi oleh setiap ibu tentu saja tidak sama persis, sesuatu yang ideal bagi satu ibu, belum tentu ideal untuk ibu lainnya. (*)
Reporter : Reka Kajaksana
Editor : Lutfiyu Handi