
MALANG (lenteratoday)- Sejak awal menjabat, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir terus menyisir perusahaan plat merah yang merugi. Dia pun mengakui, hingga saat ini sudah menutup 70 BUMN.
"Kita sekarang terus menutup BUMN BUMN yang nggak efisien. Kita sudah tutup 70 BUMN ya dan kita akan terus lakukan," ujar ErickThohir dalam acara Orasi Ilmiah 'Globalization And Digitalization: Strategi BUMN Pasca Pandemi' yang digelar Universitas Brawijaya, Sabtu (27/11/2021).
Erick Thohir menjelaskan BUMN yang ditutup itu ada yang tidak beroperasi sejak 2008. Setelah 70 BUMN tersebut ditutup, karyawannya ke mana saja?"Kita terus lakukan (efisiensi) tapi tidak mengurangi tenaga kerja, kita konsolidasikan pegawainya ya," terang Erick
Menurut Erick Thohir memang saat ini mau tidak mau perubahan besar harus terjadi di BUMN. Mulai dari usia pegawai yang di bawah 35 tahun terus direkrut untuk memenuhi target jumlah anak muda di lingkungan BUMN.
Namun Erick juga menyebut para senior yang sudah ada di BUMN akan tetap dijaga hingga memasuki masa pensiun. Namun jika ada BUMN yang tidak beroperasi sejak 2008 ya BUMN-nya harus ditutup karena justru akan menimbulkan pemborosan.
Dia mencontohkan di industri perbankan saat ini sudah menganut efisiensi. Pasalnya dengan digitalisasi para bank memangkas jumlah kantor cabang."Di bank yang tadinya dalam satu daerah ada 3 kantor sekarang dijadikan satu, tidak ada lay off tapi ditambahkan job desk-nya yang tadinya di kantor, sekarang harus keluar sebagai sales untuk mengejar pertumbuhan," jelas dia.
Erick menyebut BUMN juga harus bertransformasi dan menjalankan model bisnis yang lebih baik. Dia menyampaikan dengan efisiensi ini, laba yang dihasilkan oleh BUMN naik signifikan.
"Bisa dilihat hasilnya sekarang? untuk laba Rp 13 triliun 2020, hari ini kuartal III 2021 Rp 61 triliun. Artinya efisiensi dan transformasi, perubahan bisnis model terbukti berjalan dengan baik," kata Erick Thohir.
Dari data yang dipaparkan laba BUMN pada kuartal III 2020 tercatat hanya Rp 3 triliun. Erick mengungkapkan, pencapaian itu belum cukup karena negara juga masih membutuhkan keseimbangan.
Tekanan untuk RI
Ada tiga realitas yang harus dihadapi bangsa Indonesia. "Ini saya tidak menakut-nakuti, tapi realitas yang harus dihadapi bersama," ujar Erick.
Realitas pertama, kata dia, pasar globalisasi akan terus dipaksakan dibuka. Kedua, transformasi atau distribusi digital yang tidak bisa terbendung. Ketiga, ketahanan kesehatan.
Bicara soal pasar global, kata dia, Kalau dilihat pada konferensi G20 di Roma dan COP26 di Glasgow, banyak negara maju menekankan pentingnya menuju ekonomi hijau atau green economy. Indonesia pun menyetujui gagasan tersebut.
Ia mengungkapkan, saat di pertemuan negara G20, Presiden Joko Widodo tidak mau menandatangani perjanjian mengenai rantai pasok atau supply chain. "Kenapa? Karena salah satu (isinya) kita ditekan hanya membuka industri pertambangan dikirim sebanyak-banyaknya ke negara lain. Apa bedanya wama jaman VOC dulu ke sini cari pala dan rempah? Kita tidak mau Sumber Daya Alam (SDA) kita dipakai untuk pertumbuhan bangsa lain," tutur dia.
Meski begitu, lanjutnya, pemerintah tidak anti asing. "Hanya saja sudah sewajarnya, SDA kita harus dipakai untuk ekonomi kita yang sebesar-besarnya, market kita harus dipakai untuk pertumbuhan ekonomi bangsa kita sebesar-besarnya," tegas Erick.
Berikutnya, bicara soal distribusi digital, Erick menyebutkan, dulu 10 perusahaan besar di dunia berdasarkan SDA dan ritel. Sementara nantinya, tujuh dari perusahaan merupakan perusahaan teknologi.
"Ini hal yang nggak bisa terelakkan dan jadi kenyataan bahwa disrupsi digital pasti ganggu juga di banyak hal. Kita bisa melihar bagaimana sekarang babal belurnya gelombang ekonomi digital dengan masuknya e-commerce," tutur dia.
Masuknya e-commerce, sambung Erick, memang membuat tren belanja online naik. Hanya saja bukan barang lokal yang dibeli."Kita sempat terkena dumping, UMKM membuat Rp 200 ribu, tapi dijual Rp 20 ribu saja. Ini merusak pondasi supply chain UMKM kita yang juga jadi tulang punggung perekonomian," jelasnya.
Lalu bicara mengenai ketahanan kesehatan, menurutnya situasi kesehatan tidak menentu. Kalau angka Covid-19 naik, ekonomi turun.
"Ini musuh tidak terlihat dan hampir (terjadi) 20 tahun sekali. Sebelumnya ada virus ebola, flu burung dan lainnya, nggak tahu 20 tahun lagu apa. Kondisinya, mayoritas farmasi kita impor bahan baku pembuatan obat. Jadi obat mahal," ujar Erick.
Guna mengatasi tiga ancaman di atas, kata dia, diharapkan semua pihak seperti BUMN, universitas, dan rakyat, secara gotong royong bekerja sama. "Bersama-sama satu lainnya berjalan ke pondasi luar sesuai roadmap," kata dia.(*)
Reporter: Iskandar, UB
Editor: Widyawati