
MALANG (Lenteratoday) - Sebagai profesi yang beresiko tinggi, jurnalis wajib mempunyai bekal kesehatan dan keselamatan kerja, yang tujuannya tak lain untuk melindungi dirinya, dari pelbagai potensi resiko yang ada. Lebih dari itu, membangun kesadaran jurnalis terkait keselamatan kerja adalah hal cukup menantang.
Ketua AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Malang, Muhammad Zainuddin menjelaskan, keselamatan kerja bagi jurnalis sangatlah penting, sebab ada banyak sekali resiko yang mungkin akan dihadapi jurnalis sebagai pekerja, salah satunya yakni kekerasan seksual.
Akan tetapi menyadarkan para jurnalis tentang keselamatan dan resiko itu sendiri, juga bagian yang tak mudah. Banyak yang tidak sadar jika tengah mengalami kekerasan dalam menjalankan tugas sebagai penyampai berita. “Contohnya di Kota Malang saja yang beberapa tahun yang lalu saat demo reformasi itu ada 15 korban kekerasan, tapi tidak ada satupun yang melapor,” ujar Zainuddin pada Sabtu, (15/1/2022).
Hal ini karena tidak ada kesadaran yang dimiliki oleh para jurnalis bahwa ia telah menjadi korban kekerasan. “Jangankan soal kekerasan seksual, kekerasan fisik saja sedikit kawan jurnalis yang memahami jika ia menjadi korban,” terusnya menjelaskan.
Dunia media yang sangat maskulin menjadi salah satu penyebab mengapa kekerasan seksual sulit menjadi perhatian. Meski korban kekerasan seksual bisa saja laki-laki, namun mentalitas maskulin yang rentan juga memicu hal ini menjadi kurang penting di mata media.
“Pada kasus Nurhadi saja, siapa yang berada di depan membela dan mengadvokasi? ya kawan-kawan serikat, media tempat Nurhadi bekerja hanya ada di awal-awal saja, yang mengawal hingga hari ini, ya serikat, ini menunjukkan, pada kekerasan terhadap jurnalis saja media tidak hadir, apalagi kekerasan seksual,” kata Zainuddin.
Dalam peluncuran catatan kebebasan pers Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia 2021, AJI menyoroti bahwa jurnalis perempuan lebih memiliki kerentanan terhadap kekerasan seksual, yang bisa terjadi baik di luar meja redaksi, maupun yang berada di dalam badan media itu sendiri.
Minimnya pembekalan tentang bahaya dan jenis kekerasan seksual, membuat permasalahan ini menjadi lebih pelik. Regulasi penanganan kekerasan seksual di badan media massa juga menambah derita korban kekerasan seksual. Pasalnya, hingga hari ini, tak ada satupun media yang memiliki SOP (Standard Operating Procedure) untuk menangani kekerasan seksual.
“Hingga hari ini belum ada media yang mempunyai regulasi atau SOP terkait penanganan kasus kekerasan seksual, akibatnya banyak sekali korban yang memilih untuk diam, dan tidak bersuara,” jelas Zainuddin.
Berdasarkan ratifikasi ILO (International Labor Organization) 190, beberapa jenis kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, salah satunya yakni kekerasan seksual. Lebih lanjut, tujuan ratifikasi ILO 190, tak lain untuk melindungi pekerja di dunia kerja. Selain melindungi pekerja, ratifikasi ILO juga menjadi salah satu motor penggerak agar perspektif terhadap kesetaraan gender bisa semakin disebarluaskan.
Peran perusahaan media dalam melindungi jurnalis di dunia kerja juga harus jadi sorotan. “Dalam hal ini (kekerasan seksual) perusahaan media harusnya mengambil peran penting untuk menjaga pekerja mereka, dalam hal ini adalah jurnalis, sejauh ini seperti peningkatan kapasitas pun, jurnalis banyak yang mengupayakan sendiri, tak ada pembekalan dari media,” terusnya.
Perusahaan medialah yang harus menjadi benteng bagi pekerja. Jaminan hukum dan keamanan pekerja harusnya bisa didapatkan oleh para jurnalis. Menerapkan SOP penanganan kekerasan seksual, adalah salah satu yang bisa dilakukan.
Reporter : Reka Kajaksana
Editor : Endang Pergiwati