
JAKARTA (Lenteratoday) - Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam dari Fraksi PDIP meminta Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi, untuk tidak melakukan pencitraan dalam menerapkan kebijakan minyak goreng satu harga Rp 14 ribu per liter.
Hal tersebut disampaikan Mufti, karena minyak goreng harga Rp 14 ribu per liter saat ini langka dan bahkan di beberapa daerah tidak tersedia dalam satu minggu di ritel modern.
"Jadi Pak Menteri harapan kami, kebijakan ini jangan hanya pencitraan semata, karena ini sungguh apa yang saya capture ke Pak Menteri itu tangisan rakyat kami dan rakyat sangat membutuhkan minyak goreng, harapan kami, Pak Menteri bisa mendengar itu," kata Mufti saat rapat kerja Komisi VI DPR dengan Menteri Perdagangan di Gedung Kompleks Parlemen DPR RI, Senayan, Senin (31/1/2022).
"Mungkin bagi Pak Menteri uang Rp 1.000, Rp 2.000, tidak ada artinya tapi Bapak tahu konstituen kita, dia jualan gorengan, Rp 1.000 untuk beli minyak goreng saja tidak cukup. Untuk naikkan harga jual Rp 1. 250 tidak akan ada yang beli gorengan mereka,"sambungnya.
Menurutnya, kebijakan minyak goreng satu harga Rp 14 ribu per liter yang dijalankan Kementerian Perdagangan tidak diimbangi dengan pengawasan yang ketat di lapangan, sehingga menimbulkan lenyapnya dan kelangkaan minyak goreng di ritel modern.
"Kebijakan yang diambil Pak Menteri menurut kami, Fraksi PDIP masih gagal total Pak Menteri," paparnya.
Kelangkaan minyak goreng di ritel modern, kata Mufti, dibuktikan sebelumnya dengan pengecekan di lapangan oleh staf ahlinya di daerah pemilihannya (Dapil) yaitu Pasuruan, Jawa Timur.
"Tadi pagi sebelum rapat Pak Menteri, saya cek lagi, saya suruh tenaga staff ahli saya mengecek di pasar besar saja harga minyak goreng Rp 18 ribu, di pusat grosir di dapil kami. Coba cek di ritel modern, ternyata tidak ada. Ditanya kapan terakhir, ada seminggu lalu harganya Rp 14 ribu tapi harus belanja Rp 50 ribu baru bisa menebus Rp 14 ribu," tuturnya.
Melihat kondisi tersebut, Mufti pun pesimis kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) dapat berjalan baik, tanpa diiringi sanksi tegas bagi yang melanggar.
"Kebijakan DMO dan DPO, kami pesimis hal ini karena dengan ada subsidi saja tidak diterapkan di tengah masyarakat. Saya tidak bisa bayangkan ditetapkan tapi bagaimana kontrol yang akan dilakukan," ujarnya.
Reporter : Ashar | Editor : Endang Pergiwati