
JAKARTA (Lenteratoday)- Dunia kerja dan perburuhan Indonesia kembali gaduh. Muncul aturan, pembayaran manfaat jaminan hari tua (JHT) baru bisa dicairkan ketika usia peserta BPJS Ketenagakerjaan 56 tahun. Sedikitnya 70 ribu orang telah menandatangani petisi online untuk menolak kebijakan baru itu.
Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua.Petisi online di change.org dengan judul 'Gara-gara aturan baru ini, JHT tidak bisa cair sebelum 56 Tahun', hingga pukul 8.46 WIB sudah ditandatangani 71.260 partisipan dengan target 75.000.
"Dengan aturan baru itu, bagi buruh yang di PHK atau mengundurkan diri, baru bisa mengambil dana Jaminan Hari Tuanya saat usia pensiun," tulis Suhari Ete yang membuat petisi tersebut dikutip, Sabtu (12/2/2022).
"Jadi kalau buruh/pekerja di-PHK saat berumur 30 tahun maka dia baru bisa ambil dana JHT-nya di usia 56 tahun atau 26 tahun setelah di-PHK. Padahal saat ini dana kelolaan BPJS Tenaga Kerja sudah lebih dari Rp 550 triliun," sambungnya.
Padahal, dia menjelaskan pekerja sangat membutuhkan dana tersebut untuk modal usaha setelah kena PHK. Di aturan sebelumnya pekerja terkena PHK atau mengundurkan diri atau habis masa kontraknya bisa mencairkan JHT setelah satu bulan resmi tidak bekerja.
"Karenanya mari kita suarakan bersama-sama untuk tolak dan #BatalkanPermenakerNomor 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua," tambahnya.
Diduga Dana Menipis
Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia juga meminta pemerintah membatalkan beleid tersebut. Presiden ASPEK Indonesia, Mirah Sumirat, menduga BPJS Ketenagakerjaan atau BPJamsostek, sebagai pengelola dana JHT, tak lagi memiliki cukup dana.
"BPJS Ketenagakerjaan tidak professional dalam mengelola dana nasabahnya! Ada kemungkinan BPJS Ketenagakerjaan tidak memiliki dana yang cukup dari pengembangan dana peserta. Sehingga berpotensi gagal bayar terhadap hak-hak pekerja yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan," ujar Mirah dalam keterangannya, Sabtu (12/2/2022).
Mirah menjelaskan, komposisi iuran JHT BPJamsostek dibayarkan oleh pekerja melalui pemotongan gaji sebesar 2 persen setiap bulannya dan 3,7 persen dari upah per bulan yang dibayarkan oleh pemberi kerja atau perusahaan. Sehingga, menurutnya pemerintah tak boleh semena-mena menahan JHT sebagai hak peserta BPJS Ketenagakerjaan.
“Karena faktanya, banyak korban PHK dengan berbagai penyebabnya, yang membutuhkan dana JHT miliknya untuk memenuhi kebutuhan hidup atau memulai usaha setelah berhenti bekerja. Banyak juga pekerja yang di-PHK tanpa mendapatkan pesangon, antara lain karena dipaksa untuk mengundurkan diri dari perusahaan. Sehingga pekerja sangat berharap bisa mencarikan JHT yang menjadi haknya," tegas Mirah.
Dia pun mengambil contoh pekerja yang kena PHK di usia 40 tahun, harus menunggu 16 tahun untuk bisa mencairkan hak atas JHT. Padahal pekerja tersebut sudah berhenti membayar iuran.
“Kenapa harus ditahan dan menunggu sampai usia 56 tahun? Di tengah sulitnya mendapatkan pekerjaan baru, seharusnya dana JHT bisa dipergunakan untuk modal usaha,” lanjutnya.Untuk itu, ia meminta pemerintah segera membatalkan Permenaker 2/2022 dan tetap memberlakukan aturan sebelumnya.
Adapun pemberian hak JHT sebelumnya diatur dalam Permenaker Nomor 19 Tahun 2015. Di mana manfaat JHT dapat dicairkan untuk pekerja tanpa ada batasan umur, langsung secara tunai dan sekaligus oleh BPJS Ketenagakerjaan setelah melewati masa tunggu satu bulan terhitung sejak tanggal pengunduran diri atau PHK.
“ASPEK Indonesia mendesak Pemerintah untuk membatalkan Permenaker Nomor 2 tahun 2022, dan kembali pada Permenaker Nomor 19 tahun 2015,” pungkasnya.(*)
Repoter: ashar,rls,ist | Editor: widyawati