
JAKARTA (Lenteratoday) -Pemerintah diminta cermat dalam mengelola pendanaan kontrak pengadaan 42 jet tempur Dassault Rafale dari Prancis dan 36 pesawat F-15ID dari Amerika Serikat.
Menurut pengamat pertahanan Anton Aliabbas, hal itu harus dilakukan supaya Indonesia tidak terjerumus ke dalam permasalahan yang sama yang kini tengah dialami dengan Korea Selatan.
"Mengingat besarnya biaya pembelian puluhan alutsista ini maka mekanisme dan prosedur pembayaran kontrak harus dapat diatur agar kendala dalam pembayaran kontrak pengadaan KFX/IFX dengan Korea Selatan tidak terulang kembali," kata Anton mengutip Kompas, Senin (14/2/2022).
Sengkarut dalam masalah kontrak jet tempur kerja sama yang dibuat di Korea Selatan itu adalah pembayaran kewajiban dari Indonesia macet sejak 2017.
Indonesia dan Korsel meneken perjanjian kerja sama kesepakatan pembagian ongkos produksi jet tempur KFX/IFX pada 2014 dan 2016. Dalam kontrak kerja sama itu dipaparkan pemerintah Korsel menanggung 60 persen pembiayaan, kemudian sisanya dibagi rata antara pemerintah Indonesia dan Korea Aerospace Industries (KAI) masing-masing 20 persen.
Dari persentase itu, Indonesia menanggung beban pembiayaan sebesar Rp 20.3 triliun. Dari jumlah itu, Indonesia masih menunggak Rp 7.1 triliun.
Selain itu, para insinyur PT Dirgantara Indonesia (PTDI) yang dikirim ke Korea Selatan untuk menjadi bagian tim proyek mengeluh tidak diberi akses, termasuk dalam hal teknologi tingkat tinggi yang sensitif. Penyebab akses terhadap teknologi itu terhambat disebabkan oleh urusan diplomatik.
Korsel menyatakan pemerintah Indonesia tidak mempunyai perjanjian akses teknologi tingkat tinggi atau sensitif dengan Amerika Serikat. Sebab, Korsel mendapatkan panduan tentang teknologi itu sebagai bagian dari kontrak pembelian jet tempur siluman F-35 buatan Lockheed Martin.
Akan tetapi, Indonesia menyatakan akan terus melanjutkan kerja sama itu karena bakal rugi banyak jika membatalkan secara sepihak (*)
Editor: Arifin BH