Ayam Panggang Gandu Bikin Merindu

Bukan hanya suasana sejuk alami wisata Sarangan yang menjadi magnet wisata di Kabupaten Magetan, tapi kekayaaan wisata kulinernya dijamin membuat hati para wisatawan merindu. Ayam Panggang Desa Gandu dan Tepo Tahu masuk dalam daftar wajib icip-icip saat bertandang ke daerah di kaki Gunung Lawu ini.

Hawa sejuk dan hamparan hijau pegunungan menjadi suguhan alam memesona saat tiba di wilayah Magetan. Kabupaten di Jawa Timur paling barat ini memang merupakan gudang destinasi wisata alam yang digandrungi. Letaknya yang berbatasan dengan wilayah Jawa Tengah, tepatnya Kabupaten Karanganyar, membuat Magetan juga dilirik sebagai lokasi liburan warga Solo hingga Jogjakarta.

Wisata alamnya seperti Telaga Sarangan, Telaga Wahyu, Cemoro Sewu dan Air Terjun Tirtosari, serta yang terbaru Wana Wisata Mojosemi menjadi pilihan warga untuk menyegarkan pikiran saat lelah dari rutinitas. Tak hanya itu, ternyata wisata kulinernya juga menjadi tujuan utama para wisatawan berkunjung ke Magetan.

Salah satu yang telah melegenda adalah Ayam Panggang Desa Gandu. Lokasinya memang jauh dari tempat wisata, namun kelezatannya yang telah menjadi buah bibir tak menyurutkan pengunjung mampir ke lokasi kuliner satu ini.

Salah satunya adalah Warung Bu Setu, yang merupakan perintis wisata kuliner Ayam Panggang Desa Gandu. Lokasi Desa Gandu mudah dijangkau karena berada di jalur Maospati – Ngawi. Di kanan kiri jalan sudah banyak warung-warung dengan menu ayam panggang. Dengan banner yang menyolok, warung-warung kecil itu sudah mampu menggoda selera.

Tetapi kalau hendak mencoba warung milik perintis, pengunjung memang harus masuk ke jalan desa yang relatif sempit di Desa Gandu. Guna memudahkan akses, bila tamu menggunakan bus besar, pengelola menyediakan kereta kelinci sebagai moda transportasi menuju warung ayam panggangnya.

Tidak seperti resto-resto di kota, pengunjung retso ayam panggang di Gandu ini menikmati sajian sambil duduk lesehan. Rumah pedesaan berwarna hijau, dikelilingi rimbunnya pohon bambu inilah warung Bu Setu yang buka pertama kali tahun 1990-an.

“Awalnya saya jualan keliling ke desa-desa, ya ayam panggang dan ayam goreng. Sehari habis 8 ekor sudah bagus,” ujar Bu Setu dengan Bahasa Jawa khas karena dia mengaku tidak bisa berbahasa Indonesia.

Saat itu dia menggunakan sepeda untuk keliling berjualan, hingga sekitar tahun 1995 salah satu pabrik di kawasan Geneng, Magetan memintanya untuk membuatkan makanan bagi karyawan-karyawannya. “Saya bilang nasinya dingin, karena waktu itu saya belum punya alat-alat masak dan termos penghangan nasi. Mereka bilang tidak apa-apa,” tutur wanita 4 orang anak ini.

Sejak saat itu, dari hari ke hari makin banyak orang yang datang ke rumahnya untuk memasan ayam panggang. Ada yang makan di tempat, ada juga yang di bawa pulang. Dengan tekad yang kuat, Bu Setu pun mulai berbenah dengan mengubah rumahnya menjadi warung. Diakui, awalnya warung biasa dengan bangunan tua, baru setahun ini dilakukan perbaikan lebih modern bahkan menyediakan ruangang yang bisa digunakan untuk rapat.

“Pada hari-hari biasa kami memotong sedikitnya 250-300 ayam kampung,” katanya. Hari Sabtu dan Minggu sekitar 500 ekor dan pada hari tertentu seperti saat lebaran dan 17 agustus, bisa memotong 1.000 ekor ayam per hari.

Dengan semakin banyaknya pesanan, dia pun mengajak warga sekitar untuk membantunya. Saat ini, ada 32 karyawan yang memiliki tugas masing-masing. Dua belas orang khusus bekerja memotong ayam, sekaligus membakar mentahan (tahap pertama). Kalau hendak disajikan, ayam dibakar lagi di tungku tanah dengan kayu bakar, bukan arang. “Proses menanak nasi pun kami masih menggunakan cara tradisional yaitu dikaru. Jadi rasanya memang khas,” jelasnya.

Ada dua pilihan untuk pengunjung, yaitu ayam bakar bumbu rujak yang cenderung pedas dan bumbu bawang yang gurih. Dalam penyajiannya, pengunjung akan diberi pilihan dua sambal yaitu sambal terasi dan sambal korek. Pelengkap lainnya adalah lalapan, urap-urap, sayur lodeh dan sayur mentek, yaitu masakan khas desa dengan isi kedelai dan kelapa.

Rasa ayam panggangnya sendiri pasti melekat di lidah. Empuk, rasa bumbunya menggigit  dengan aroma bakaran yang mengundang selera. Harga ayam tidak dihitung per potong melain per ekor. Untuk yang besar harganya Rp 90 ribu sedang yang agak kecil Rp 75 ribu. “Saat lebaran biasanya harganya naik karena ayam kampung dari peternak juga mahal,” ujarnya. Bu Setu sendiri telah memiliki 3 pemasok ayam kampung. Ditegasnya, warungnya hanya menggunakan ayam kampung asli dan tidak menggunakan ayam potong.

Warung ayam panggang Gandu buka pagi mulai pukul 8.00 dan tutup pukul 22.00. Tapi bila ada pengunjung yang pagi-pagi sudah datang, Bu Setu tetap membukakan pintu. “Kasihan ya jauh-jauh dari Solo, Jogja, Jakarta dan kota-kota lain. Kami sudah mulai memasak sejak jam 3 pagi. “katanya.

Ayam Panggang Desa Gandu memberikan efek besar terhadap roda ekonomi warga. Bukan hanya bagi pemilik warung atau restoran, tetapi juga bagi masyarakat yang beternak ayam kampung, pemasok kayu bakar hingga pemasok sayuran.”Kalau beras selain beli, hasil dari warung ini kami belikan sawah. Jadi hasil panen dimasak untuk pembeli warung. Tapi ya tetap harus kulakan ke pasar karena butuhnya beras lebih banyak,” ujar wanita yang telah memiliki satu cicit ini.(dya)



Latest news

Related news

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini