
MALANG (Lenteratoday) – Kepala Dinas Kesehatan Kota Malang, Husnul Muarif, mengatakan per Oktober 2022 telah tercatat hampir 600 kasus demam berdarah (DBD) terjadi di Kota Malang. Namun, jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya jumlah tersebut cenderung menurun.
“Hampir 600 an (kasus DBD). Kalau dihitung sampai Desember tahun kemarin ya, masih banyak jumlah kasus DBD di 2021. Usia yang terpapar lebih banyak di usia anak sekolah, antara 7 sampai 20 an tahun,” ujar Husnul Muarif, selaku Kadinkes Kota Malang, Sabtu (5/11/2022).
Mengingat Kota Malang telah memasuki musim hujan dengan intensitas sedang hingga cukup tinggi. Kadinkes Kota Malang tersebut menghimbau kepada masyarakat untuk senantiasa menerapkan kebersihan dan perilaku 3M, yakni menguras, menutup, dan mengubur agar dapat terhindar dari DBD dan penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kotor.
“Jadi DBD ini tiap tahun pasti ada. Dan penyebabnya sudah pasti yakni adanya genangan yang dijadikan perindukan nyamuk aedes aegypti. Nah manakala genangan ini tidak ada, berarti bibit-bibit jentiknya ini tidak ada, sehingga tinggal nyamuk dewasa. Yang dewasa ini biasanya ditemukan di gantungan-gantungan baju atau di tempat yang lain, dan itu bisa dihindari dengan menjaga kebersihan,” tandasnya.
Dikatakannya dari hampir 600 jumlah kasus, terdapat 2 titik Kecamatan yang tercatat sebagai wilayah ditemukannya banyak kasus DBD di Kota Malang. Meskipun begitu, Husnul mengaku penyebaran DBD pada tahun 2022 cukup merata sebab hampir di 5 kecamatan di Kota Malang juga telah ditemukan kasus pasien DBD.
“Sebenarnya agak merata dan bedanya antara satu kecamatan (dengan lainnya) juga tidak banyak. Tapi yang pertama ada di Kecamatan Blimbing, kemudian Sukun. Dua Kecamatan itu yang bedanya antara 10 sampai 20 kasus,” ungkapnya.
Selama 10 bulan, dari hampir 600 kasus DBD yang disebutkan oleh Husnul, terdapat 8 kasus meninggal dunia dengan kebanyakan usia anak sekolahan. Husnul selanjutnya menyampaikan bahwa telah dilakukan fogging untuk menyikapi maraknya kasus DBD tersebut.
“Sudah dilakukan fogging. Jadi begitu ada kasus, teman-teman dari dinas kesehatan itu turun untuk melakukan PE (Penyelidikan Epidemiologi) nah itu dilihat di lokusnya dulu, di rumah. Kemudian bergeser pada 10 rumah kanan dan kiri, belakang dan depan untuk dilihat angka bebas jentiknya,” jelasnya. Dijelaskannya, apabila angka bebas jentik menunjukkan kurang dari 95% maka sambungnya, angka tersebut menjadi salah satu indikasi untuk harus dilakukan fogging.
Reporter: Santi Wahyu | Editor:widyawati