
SURABAYA (Lenteratoday) - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Hadi Tjahjanto, menawarkan solusi terkait permasalahan sengketa lahan yang terjadi di Jawa Timur. Mulai yang melibatkan pemerintah daerah, BUMN maupun PT KAI.
Hal itu disapaikan dalam rapat koordinasi (Rakor) bersama Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, dan juga stakeholder terkait sengketa lahan di Gedung Negara Grahadi, Surabaya (5/1/2023).
"Hari ini sebelum ke sini tadi saya mengunjungi tiga tempat yang di sana terjadi konflik atau sengketa agraria. Ada yang sengketa dengan lahan KAI, lahan Pelindo hingga surat ijo yang dalam ini kaitan dengan Pemkot Surabaya," kata Hadi, pada media, usai rakor.
Hadi mengatakan bahwa ada ratusan ribu masyarakat di Surabaya yang menghadapi sengketa lahan dengan tiga kasus yang tersebut. Mulai dari kasus dengan melibatkan dua BUMN milik negara yaitu PKI dan Pelindo dan juga dengan pemkot Surabaya. Lahannya tercatat sebagai aset kekayaan daerah.
Hadi juga menyebutkan bahwa warga yang menempati lahan tersebut sudah cukup lama, bahkan ada yang sudah mencapai puluhan tahun. Kemudian mereka menawarkan ke pengelola dalam hal ini PT KAI dan Pelindo serta Pemkot Surabaya supaya bisa diterbitkan sertifikat hak milik.
Terkait dengan masalah ini, Menteri ATR/BPN mengatakan ada opsi solusi yang bisa diambil dengan beberapa pertimbangan. Pertama untuk lahan yang dikelola BUMN seperti Pelindo maupun KAI, mereka bisa diberikan surat berupa HGB (Hak Guna Bangunan) di atas HPL (Hak Pengelolaan).
Opsi ini bahkan menurut Hadi juga bisa diberlakukan bagi sengketa lahan yang melibatkan Pemkot Surabaya. Atau opsi selanjutnya adalah direlokasi supaya masyarakat tidak berlarut larut ada di sana.
"Nah tadi sudah terjawab. Bahwa untuk yang masalah surat ijo akan diberikan HGB di atas HPL. Lalu Pelindo juga bisa memberikan perpanjangan izin dengan diberikan HGB di atas HPL," tegasnya.
"Sedangkan yang KSI masih dipertimbangkan dan masih didiskusikan dengan internal apakah bisa diberikan HGB di atas HPL," tegasnya.
Hadi menegaskan bahwa masalah ini harus segera diselesaikan. Sebab masalah ini sudah berlarut-larut. Sedangkan masyarakat juga menunggu tindak lanjut dan kepastian hukum atas lahan yang kebanyakan telah ditempati warga bertahun-tahun.
"Karena kalau tidak diselesaikan nggak selesai-selesai. Padahal masyarakat juga sangat menunggu kepastian hukum," pungkasnya.
Sementara itu, Sudjarwo, ketua Perkumpulan Warjoyo, yang tinggal di kawasan Joyoboyo Surabaya, dimana lahan yag digunakan sebagai tempat tinggal berada di bawah kewenangan PT KAI, tetap menuntut supaya bisa mendapatkan sertifikat hak milik.
Dia juga merasa pertemuan yang dilakukan di Gedung Negara Grahadi tidak ada titik temu, karena merasa tidak mendapatkan apa yang menjadi tuntutan mereka. "Permintaannya, (kami) mendapatkan legalitas yang sah sesuai aturan pemerintah negara, karena 30 persen sudah ada sertifikat dan yang lainnya tidak," katanya.
Dia juga mengatakan bahwa ada sekitar 3.000 kepala keluarga yang tinggal di kawasan tersebut. Mereka tinggal di 21 RT yang ada 2 RW dengan luasan wilayah sekitar 7 hektar. Sudjarwo yang berusia 52 tahun ini mengaku sudah tinggal di tempat itu sejak lahir. Bahkan orang tuanya sudah tinggal sejak tahun 1952.
"Harapan tetap mendapatkan legalitas sesuai aturan RI, setifikat hak milik tidak lebih. Negosiasi tidak pernah ada karena kita tidak pernah merasa bersengketa dan konflik dengan siapapun. Kalau ada klaim dari PT KAI itu memang ada, tapi kami tidak pernah mengaku itu (tanah) milik kami, kami juga merawat dengan baik, jadi tidak ada alasan lagi pemerintah untuk tidak memberikan legalitas pada tepat yang kami tempati," tandasnya. (*)
Reporter : Lutfi | Editor : Lutfiyu Handi