
Oleh: Tarmuji*
'SAYA Cinta Sekali pada NU' itu merupakan judul pidato Presiden RI Pertama Soekarno saat membuka Muktamar ke-23 Nahdlatul Ulama (NU) di Solo, Jawa Tengah pada tahun 1962.
"Saya sangat cinta sekali kepada NU. Saya sangat gelisah jika ada orang yang mengatakan bahwa dia tidak cinta kepada NU. Meski harus merayap, saya akan tetap datang ke muktamar ini, agar orang idak meragukan kecintaan saya kepada NU!" begitu kalimat lengkap Soekarno saat berpidato kala itu.
Muktamar tersebut menjadi spesial dengan hadirnya Presiden Soekarno, yang dalam pidatonya menyatakan bahwa keberhasilan kembalinya Irian Barat tersebut berkat kontribusi besar dari NU.
Dalam buku 'Soekarno dan NU' dijelaskan, NU memang selalu membela pemerintah. Hal ini antara lain bisa dilihat dari Muktamar ke-20 NU di Surabaya 8-13 September 1954 yang memutuskan Presiden Soekarno sebagai Waliyyul Amri Ad-Dharuri bi As-Syaukah. Artinya, pemegang pemerintahan dengan kekuasaan penuh.
Dalam buku itu juga dijelaskan bahwa keputusan tersebut diambil sebagai antisipasi terhadap ancaman pemberontakan yang ingin menggulingkan Soekarno dan mengganti Pancasila sebagai dasar negara. Keputusan itu juga dilakukan untuk menyatukan Nahdliyin terkait sikap NU dalam mendukung pemerintahan Indonesia.
Menyongsong 1 abad, kebangsaan dan kebanggaan Indonesia terhadap NU makin kuat. Yang khas dari NU adalah wawasan nasionalisme para kiainya yang terus bertransformasi mengikuti tuntutan zaman.
Untuk diketahui, peringatan Harlah 1 Abad NU pada tanggal 7 Februari 2023 yang bertepatan pada 16 Rajab 1444 Hijriah (H) ini berdasarkan pada sejarah lahirnya atau berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang berdiri pada tanggal 31 Januari 1936 atau bertepatan pada 16 Rajab 1344 H silam. Melansir situs resminya, PBNU mengusung tema Harlah 1 Abad NU 'Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru'. Tema ini didasarkan pada hadits Rasulullah SAW tentang lahirnya pembaharu di setiap satu abad.
Kebersamaan dengan semua kekuatan bangsa tampak selalu dikuatkan oleh para kiai Nahdlatul Ulama. Fokusnya adalah menjaga akhlaq karimah rakyat di dalam perjuangan mereka mencapai tujuan nasional.
Penggerak utamanya adalah para kiai pesantren. Mereka menyerap warisan dunia ke-Islam-an yang terekam ke dalam kitab-kitab mu’tabarah atau yang dapat dipertanggungjawabkan silsilah keilmuannya sampai kepada Nabi Muhammad SAW, sahabat, salafus-shalihin, dan para ulama penerus mereka selama berabad-abad.
Kini di tahun politik 2023, ketakutan mencuatnya ujaran kebencian atas nama persaingan kontestan yang mengarah dan membawa masyarakat ke jurang perpecahan pun kembali terjadi. Berkaca pada tahun perpolitikan nasional 2019 Isu-isu yang timbul seakan tiada habis. Saling serang-menyerang, tuduh-menuduh tiada ujung inilah yang membuat keresahan masyarakat nyata dirasakan. Bahkan mencuat gerakan yang merongrong nasionalisme dan ideologi Pancasila.
Nadlatul Ulama yang merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia dengan anggotanya yang melebihi 90 juta jiwa sangatlah pantas dijadikan representasi umat Islam di Indonesia. Nahdlatul Ulama atau NU sudah menegaskan jauh-jauh hari sebelum polemik ini sendiri lahir bahwa Indonesia bukanlah negara agama meski agama tidak dapat dipisahkan dari negara seutuhnya seperti pada negara-negara sekuler pada umumnya, serta Pancasila merupakan satu-satunya ideologi yang dapat diterima oleh semua kalangan masyarakat Indonesia yang sangat heterogen.
Sejarah pernah mencatat, di era Orde Baru ketika rezim Soeharto menerapkan keputusan asas tunggal Pancasila, NU secara resmi menerima Pancasila sebagai asas organisasinya lewat pertemuan para ulama seniornya di Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Sukorejo, Situbondo pada tahun 1983. Bahkan disahkan secara formal pada muktamarnya di tempat yang sama tahun 1984.
Merujuk pada surah Ali Imran ayat 64, NU memandang Pancasila sebagai Kalimatun Sawa atau titik temu dalam bahasa Indonesia. Pancasila diyakini mampu mempertemukan dan menyatukan seluruh elemen masyarakat Indonesia yang berlatar pluralistik.
Dengan sederhana, dapat ditarik kesimpulan bila Pancasila merupakan pedoman kaum beragama di Indonesia dalam merajut kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip agama tidak bisa dilepaskan dari substansi yang terkandung dalam Pancasila. Namun, jika ada kelompok-kelompok kecil Islam yang menolak Pancasila, maka itu bukan didasari karena agama, tetapi mereka patut kiat diduga nemang ingin menjadikan Islam sebagai ideologi politik untuk meraih kekuasaan.
Selamat Hari Lahir Nahdlatul Ulama yang ke-100 tahun. Teruslah menyebarkan ahlussunnah wal jama'ah dan Islam yang rahmatan lil alamin, serta meneguhkan komitmen kebangsaan.Merdeka!
*Penulis adalah wartawan dan Sekretaris Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Jatim