21 April 2025

Get In Touch

Cerita Caraka

Cerita Caraka

Gus Adhim
Pimpinan Ponpes SPMAA Sumatera Selatan

Saya mengenal namanya A. Serupa inisial panggilan saya. Dulu awal survival latihan ketahanan di giat penugasan, saya diajari cara cepat pemasangan jerat ayam hutan. Pria berperawakan kecil dan kurus ini, sekilasnya berkesan lemah kekurangan gairah. Tapi kalau sudah peran pandu jalan di hutan, ia melangkah lincah seolah tanpa halangan.

Kaki bapak ini liat dan berurat kuat. Jalannya harus disetel pelan bergerak bila saya ingin fokus dan supaya tidak kehilangan jejak. Saat jalan, pria ini lebih banyak diam tidak bicara. Dalam gerak senyap tanpa membaca peta, ia sempurna jadi caraka. Sementara saya yang sering sudah dipandu GPS, masih tetap perlu didampingi bapak itu.

Enam pekan silam, saya membutuhkan bahan kayu bangunan untuk rintisan pendirian ruangan kelas madrasah ibtidaiyah. Saya mencari informasi dimana kayu bisa dibeli. Tanpa saya duga, Alhamdulillaah bapak A ini datang menawari kayunya gratisan untuk digunakan sebagai bahan bangunan.

Serunya lagi, pekebun dusun merangkap petani kopi ini naik mendaki, dan dibantu teman menggesek kayunya sendiri dengan chainsaw di kebun. Kemudian dengan motoran, ia angkut antarkan kayu papan dan balok itu downhill turun ke dusun. Ia perlu hingga 10 rit roundtrip naik turun dari lokasi penggesekan kayu ke komplek pesantren kami.

Bila dikonversi biaya, harga kayunya saja bisa mencapai puluhan juta. Belum termasuk ongkos sewa penggesekan kayu dan angkutan ojekan. Biasanya dihitung per kibikan. Lumayan mahal jika pembiayaan ditotal.

Ketika saya minta rincian biaya, minimal untuk urun kontribusi saya di pembelian minyak mesin gergajinya, Pak A menjawab dengan tanda.

“Sudah beres semua,” kata Pak A dengan bahasa kode lingkar telunjuk jempol beserta senyum renyahnya.

Pembelajaran yang dapat saya catat dari inspirasi Pak A ini, adalah tentang kaidah sedekah. Sebagai penderma, sebenarnya ia sudah cukup baik dan semoga berpahala dengan memberi gratisan kayunya tadi. Saya juga sudah siap biaya penggesekan dan angkutan. Namun dengan santun dan kecerdasan iman, Pak A masih perlu menggesek kayu, mengangkutnya sendiri dan mengantarkannya ke lokasi kami. Sepertinya, pahala diborong semua disertai bonus plus.

Dari istrinya, saya dapat rembesan informasi cerita. Pak A memang sangat berniat supaya sedekah ini bisa diterima dan dicatat ibadah bernilai amal jariyah. Mungkin karena ia menilai underestimate berderma tidak dalam bentuk uang, sehingga ia harus total usaha mengikhtiari kayunya. Tapi justru dari totalitasnya itu, saya ketemu hal baru.

Selama ini karena kurang arif literasi, kita jadi naif keliru memahami. Bahwa sedekah seolah cukuplah dengan kiriman jutaan rupiah, sekadar barang melimpah, pakaian bekas murah, makanan dikemas meriah, atau benda kepunyaan yang kita nilai mewah. Itulah Sudah.

Mungkin cukup kirim slip transfer, gesek debit di cardreader, transaksi di meja teller, atau mentraktir paket takjil bukber. Kita biasa dengan gampang menyisihkan uang. Selebihnya kita puas karena amalan persedekahan dan merasa telah lepas dari pelaksanaan kewajiban. Done and gone.

Kita kerap lupa bahwa ada peran utama para duafa ardzalun, warga dusun, mualaf di kota, 8 asnaf penerima, yang mau menerima dengan lapang dada sedekah kita, apapun wujudnya. Mereka sejatinya perantara pahala sekaligus penjaga safedeposit amal kita.

Tanpa kita sadari, mereka semua ini telah berjasa dengan kerendahatian mengirim doa terbaiknya kepada ALLAH SWT, supaya diterimanya sedekah kita dan berpahala ganda.

Sering juga terlupa oleh kita, bahwa ada para amil yang berjasa mendistribusikan titipan paketan sedekah kita hingga sampai di tangan penerima. Mereka telah ikhlasukarela mendermakan tenaga, biaya, waktu dan sumber dayanya untuk mengantarkan paket sedekah hingga berbuah jariyah.

Afdol dan wajibnya kita setelah bersedekah, berterima kasihlah kepada mereka. Mereka ini, penerma dan pengantar sedekah adalah caraka filantropi dengan ketulusan dan kesungguhan. Mereka turun ke dusun, membelah lembah, menaiki pucuk rumah, membiayai tranportasi sendiri, swadaya lillaahi ta’ala, mengantarkan titipan sedekahan.

Di SPMAA, beneficiaries layanan kami posisikan tinggi sebagai target yang layak ditempuh dengan perjalanan jauh dan perjuangan berpeluh. Sebab mereka adalah caraka yang berjasa mendekatkan sedekah kita kepada amalan maqbulaa, perantara diterima Allah SWT.

Sering para pengantar sedekah ini bahkan tidak berpikir jatah amil atau upah secuil. Mereka rela membantu sampyan dan kita semua, supaya mutu persedekahan berpahala ganda; mendarat di tangan penerima manfaat yang tepat, dan bersyafaat di akhirat karena iringan doa amil sedekah zakat yang membawa mandat amanat.

Pak A, saat tulisan ini saya buat, sedang ikut piket gotong royong bersama warga membangun kelas madrasah kami. Sebagai santri yang terkategori baru ngaji, ia seperti menyalip kami dengan pemahaman sedekahan terbarukan. Bahwa penerima sedekah itulah yang wajib kita ucapi terima kasih. Bila perlu kita antarkan sendiri sedekahan itu beserta ucapan terima kasihnya. Jadi bukan kita para penderma, yang seolah berjasa harta dan memerlukan ucapan terimakasih pengakuan.

Paling penting, berterimakasihlah kepada para penerima dan pengantar sedekah kita. Lewat perantara tangan terima mereka, sedekah kita bernilai doa. Sebab tanpa kerelaan mereka, sedekah kita hanya akan bertanda dunia. Bisa jadi tidak ada yang mau menerima, apalagi dicatat pahala, apalagi diganjar Allah SWT ?

Cerita Pak A menghilhami saya dan para penderma, supaya senantiasa termotivasi berbagi, “lanjutkan terus bersedekahlah. Jangan putus karena merasa sudah pernah. Lebihi lagi investasi ukhrowi. Perkaya pahala sedekah kita dengan varietas amalan ikhlas. Jangan berhenti karena ketakutan rugi duniawi.”

Yaa Ayyuhaan Naas, antumul fuqaraa ilallaah.

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.