
ANKARA ( Lenteratoday) - Obligasi dan ekuitas dolar Turkiye anjlok, saat pemilihan presiden Turkiye menuju putaran kedua dengan petahana Tayyip Erdogan unggul tipis dari oposisinya. Investor tampaknya 'deg-degan' dan memilih wait and see hasil hingga putaran kedua.
Indeks saham perbankan utama Turki (XBANK) anjlok 9,6% Senin (15/5/2023) watu setempat. Pasar mengukur potensi kelanjutan kebijakan ortodoks Erdogan.
Termasuk memerangi inflasi tinggi dengan suku bunga rendah. Padahal, indeks minggu lalu naik 26%, kenaikan mingguan terbesar sejak akhir 2002. Inflasi di Turki saat ini berkisar 105 persen, menurut lembaga penelitian inflasi, ENAG. Angka tersebut ditolak pemerintah Turki yang sebaliknya hanya mencatat 43 persen inflasi.
Dalam sebuah jajak pendapat oleh lembaga wadah pemikir lokal, DOUSAM, sebanyak 73 persen warga Konya menilai negatif pekembangan ekonomi di Turki. Sementara suara optimis hanya berkisar 16 persen.
Terutama kaum muda kota menganggap genting situasinya. DOUSAM mencatat, warga di kelompok usia antara 18 dan 41 tahun menempatkan inflasi sebagai masalah terbesar, diikuti oleh lonjakan biaya hidup.
Patokan bursa Istanbul (XU100) turun 6,1% pada hari Senin, persentase penurunan harian terbesar sejak awal Februari.
Lira yang dikontrol ketat membukukan penurunan persentase terbesar dalam lebih dari enam bulan menjadi berakhir pada 19,67 per dolar - rekor penutupan terendah. Sebelumnya menyentuh 19,70, tidak jauh dari rekor terendah intraday di 19,80 yang dicapai pada bulan Maret.
Dewan pemilihan Turkiye mengkonfirmasi putaran kedua 28 Mei antara Erdogan dan saingan oposisi Kemal Kilicdaroglu setelah tidak ada kandidat yang mendapatkan ambang batas 50% untuk menang dalam pemilihan hari Minggu (14/5/2023). Dengan penghitungan suara terbanyak, Erdogan memimpin dengan 49,51% suara sementara 44,88% suara diperoleh Kilicdaroglu.
Richard Briggs, manajer dana senior Candriam mengatakan bahwa kemenangan Erdogan dapat berarti berlanjutnya ketidakseimbangan ekonomi, kebijakan moneter yang tidak ortodoks, dan biaya mahal untuk menopang lira.
"Jika Turkiye terus mengalami defisit neraca berjalan yang besar, begitu aliran itu terhenti atau berbalik arah, tekanan pada mata uang dan ekonomi bisa menjadi parah tanpa kerangka kebijakan yang kredibel yang kemungkinannya kecil di bawah pemerintahan yang ada," kata Briggs
JPMorgan (JPM.N) memperkirakan bahwa lira, yang telah melemah 5% sejak awal tahun, bisa mencapai 24-25 terhadap dolar. Perhitungan Goldman Sachs menunjukkan pasar menilai lira akan melemah sebesar 50% dalam dua belas bulan ke depan.
"Kami menduga bahwa pembuat kebijakan akan menarik semua penghentian yang diperlukan untuk memastikan stabilitas menjelang putaran kedua," James Reilly, asisten ekonom Capital Economics menulis dalam sebuah catatan.
"Tapi kami pikir mereka akan secara bertahap melonggarkan cengkeraman mereka pada lira setelahnya, memungkinkan depresiasi (yang relatif) mulus terhadap dolar AS."(*)
Sumber: Reuters/ Editor: widyawati