
SURABAYA (Lenteratoday) - Dugaan korupsi proyek fiktif perumahan fiktif prajutrit pada 2018 lalu yang ditangani Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim memunculkan dua tersangka. Mereka adalah IN, kotraktor dan DK oknum TNI.
Keduanya ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejati Jatim. IN yang merupakan kontraktor PT Neocelindo Inti Beton Cabang Bandung langsung ditahan di Rutan Kelas 1 Surabaya, Cabang Kejati Jatim.
"Tersangka IN adalah kontraktor PT Neocelindo Inti Beton Cabang Bandung yang pada tahun 2018 mengaku mendapatkan paket pekerjaan pembangunan rumah prajurit setara tower lantai enam di Jakarta," kata Kepala Kejati Jatim Mia Amiati kepada wartawan di Surabaya, Kamis (23/6/2023) malam.
Mia mengatakan tersangka IN yang mendapat paket pekerjaan pembangunan rumah prajurit kemudian menyerahkan pekerjaan tersebut kepada PT Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER) Puspa Utama.
"Sebagai biaya pekerjaan awal atau relokasi, tersangka IN meminta uang kepada PT SIER Puspa Utama dan telah diberikan sebesar Rp1,2 miliar. Namun, pembangunannya sampai sekarang tidak pernah terealisasi alias fiktif," katanya.
Sedangkan satu tersangka lagi DK yang merupakan oknum TNI yang pada tahun 2018 berpangkat letnan kolonel atau perwira dinilai telah menerima gratifikasi atas proyek fiktif tersebut.
Kajati menjelaskan uang yang diperoleh tersangka IN dari PT SIER Puspa Utama sebesar Rp1,2 miliar sebagai biaya pekerjaan awal atau relokasi, kemudian diterima oleh Letkol DK. "Jadi, dugaannya Letkol DK ini menerima uang gratifikasi," katanya.
Dalam perkara tindak pidana korupsi proyek perumahan prajurit ini, sebelumnya ada dua orang terdakwa yang telah memperoleh putusan hukum dari majelis hakim pada pengadilan tingkat pertama.
Mereka adalah Dwi Fendi Pamungkas yang saat kejadian tahun 2018 menjabat Direktur Utama PT SIER Puspa Utama dan Agung Budhi Satriyo selaku Kepala Biro Teknik pada anak perusahaan PT SIER tersebut.
"Keduanya sama-sama divonis pidana satu tahun enam bulan penjara pada pengadilan tingkat pertama. Namun, kami sedang mengupayakan banding karena hukumannya terlalu ringan," tambah Kajati Mia. (*)
Sumber : antara | Editor : Lutfiyu Handi