
SURABAYA (Lenteratoday) - Dikutip dari halodoc.com, banyak manfaat membacakan buku cerita kepada anak, di antaranya adalah meningkatkan kemampuan berbahasa, meningkatkan daya imajinasi anak, melatih daya ingat, memperkenalkan hal baru, membangkitkan minat baca anak, serta mempererat hubungan ibu dan anak.
Nah, buku cerita anak identik dengan kisah fabel, pendidikan, cerita rakyat, dan lainnya, yang kebanyakan berbahasa Indonesia atau berbahasa Inggris. Jarang sekali yang menggunakan bahasa daerah, seperti bahasa Jawa.
Untuk itu, Ita Surojoyo, M.Pd. menciptakan buku cerita anak berjenis fabel berbahasa Jawa, dan menggunakan aksara Jawa. Padahal, bahasa Jawa ini bertolak belakang dengan latar belakang pendidikan dan pekerjaannya, yaitu Magister Pendidikan Bahasa Inggris, yang kini menjadi guru Bahasa Inggris di salah satu sekolah dengan mayoritas siswa campuran Indonesia Tionghoa.
"Sebenarnya tidak ada hubungannya dengan background saya, S1, S2 Bahasa Inggris. Tapi ini karena semacam apa ya istilahnya, kalau bahasa Inggris kita bilangnya 'the call', panggilan," ungkapnya saat ditanya soal mengapa menciptakan buku anak berbahasa dan beraksara Jawa usai menjadi narasumber pada Talkshow Budaya Aksara Jawa di Kota Surabaya, Selasa (31/10/2023) malam.
Panggilan hati itu datang ketika ia merasa di lingkungannya terlalu banyak rekan yang kesehariannya berbahasa Inggris, dan ia kurang mengenal bahasa dan aksara Jawa, suku aslinya. Maka atas dukungan situasi yang saat itu sedang Pandemi Covid-19, membuatnya "gabut", maka ia mengisi waktu dengan berguru kepada seorang dalang dari Solo, untuk mengajarkannya bahasa Jawa yang tak hanya bahasa keseharian saja, namun bahasa Jawa krama dan yang lebih tinggi tingkatannya.
"Jadi saya les bahasa Jawa. Saya online lesnya, karena kita kan nggak bisa kemana-mana. guru privat saya dalang dari Solo, jadi khusus untuk berbahasa Jawa," jelasnya.
Ia memilih dalang sebagai "guru privat"nya karena ia menganggap bahasa Jawa yang digunakan seorang dalang bukan hanya bahasa Jawa yang biasa, tapi sudah "high level Javanese". Ibarat Bahasa Inggris, kosa katanya sudah yang setara untuk IELTS. Jadi tidak semua orang tahu, tapi dipakai contohnya untuk arkais atau bahasa puisi. Intinya, mulai dari yang sederhana sampai bahasa tingkat tinggi, dalang pasti tahu. Itu alasannya.
Maka hasil berguru pada dalang tak membuatnya paham lalu diam. Ia membuat cerita anak fabel berbahasa dan beraksara Jawa yang berjudul "Titi Tikus Ambeg Welas Asih".
Di dalam buku tersebut tak ada bahasa "Suroboyoan" layaknya percakapan dengan teman sehari-hari. Namun adanya adalah bahasa Jawa krama inggil, layaknya anak berbicara kepada orangtua.
Titi merupakan seekor anak tikus, yang selalu berbicara krama inggil pada ibunya. Hal itu jugalah yang mendorong Ita untuk berguru Bahasa Jawa, ya, agar bahasa di dalam bukunya yang akan dibacakan untuk anak, tidak ada yang salah. Selain itu, bertuliskan Aksara Jawa agar anak-anak juga turut belajar Aksara Jawa saat membaca bukunya.
Ada pesan moral yang dapat dipetik dari buku karya Ita ini. Ia bercerita, bahwa Titi memiliki sifat penolong. Puncak ceritanya, saking baiknya Titi dengan orang lain, apabila ia memiliki makanan, ia akan berbagi kepada temannya. Malah terkadang, saat ia sedang lapar dan mengetahui ada temannya yang lapar juga, ia memberikan makanan yang ia dapat kepada temannya tersebut. Hingga suatu hari ibunya marah. Ibunya menganggap ia terlalu baik, dan menjadikan keadaan tidak baik bagi dirinya.
Di akhir cerita, badan Titi menjadi kurus. Ibunya juga jarang makan, karena harus bergantian dengan Titi untuk mencari makan. Namun tiba-tiba, ada teman-teman Titi yang pernah dibantu oleh Titi datang ke rumah ibunya untuk memberi makanan. Akhirnya ibu Titi sadar, kalau kita memberi tanpa mengharap balasan, akan ada saja rezeki yang datang lewat siapa saja.
"Nah itu Titi Tikus Ambeg Welas Asih. Ambeg Welas Asih maksutnya penuh kasih sayang. Ya semoga mewakili karakter orang Surabaya," jelas Ita.
Meski seluruh halaman dipenuhi dengan bahasa dan aksara Jawa, di bagian belakang ada daftar aksara Jawa. Halaman tersebut digunakan apabila pembaca merasa kesulitan memahami aksara Jawanya.
"Jadi di belakang ada contekan. Ada hanacaraka, ada cara bacanya," jelasnya.
Meski buku ini telah terbit, Ita mengaku buku buatannya tersebut tidak 100 persen komersil. Kebanyakan, buku tu diberikan sebagai hadiah, ia sumbangkan ke beberapa sekolah di Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, serta memberikan bukunya ke komunitas atau Taman baca.
"Memang kampanye literasi ya ini tujuannya," ungkapnya.
Biasanya, ia mengungkapkan, apabila ada pembeli, ia akan tanya terlebih dahulu. Apabila yang membeli seorang guru, pemilik taman baca, ia akan memberi bonus satu buku untuk mereka. Sehingga ia mengatakan, sekitar 70 persen dari buku yang ia cetak itu disalurkan untuk donasi.
Buku ini memiliki kurang lebih 50 halaman dan dijual dengan harga Rp110 ribu. Sedikit mahal, karena dicetak eksklusif. Kertasnya glossy, dan memang karena Ita ingin membuat dengan total dan bagus. Sehingga tidak asal membuat buku dengan kertas yang tipis, yang mudah rusak dan robek.
"Karena aksara kita itu hebat loh, aksara Jawa itu bisa dipakai untuk Bahasa Sunda bahasa Bali, untuk bahasa Indonesia jadi sama dengan kita. Kita tidak harus berbahasa latin meskipun kita pakai aksara latin. Kan kita menggunakannya untuk bahasa Indonesia, untuk bahasa Jawa. Nah sama, aksara Jawa itu juga setara dengan aksara di dunia. Jadi ya setara, bukan lebih rendah karena nggak ada yang pakai," tegas Ita. (*)
Reporter Jannatul Firdaus | Editor : Lutfiyu Handi