21 April 2025

Get In Touch

DPRD Kota Surabaya Geram Akibat Pengembang Membangkang

DPRD Kota Surabaya Geram Akibat Pengembang Membangkang

Surabaya - DPRD Kota Surabaya Geram pada pengembang kawasan pemukiman warga Wisata Bukit Mas karena dianggap menyalahi Perwali dan Perda kota Surabaya.

Dalam hearing yabg digelar Komisi A DRPD Kota Surabaya diketahui bahwa Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL) terjadi kenaikabln setiap tahun, serta penggunaan Fasum dan Fasos yang dikenakan iuran. Akibatnya, DPRD menilai perlakuan yang dilakukan oleh pihak pengembang merupakan pembangkangan.

Ketua Komisi A DPRD Kota Surabaya, Pertiwi Ayu Krishna mengatakan dari hasil hearing tersebut pihak pemkot surabaya tidak bisa bicara selain pada produk perwali dan perdanya.

“IPL itu diterapkan oleh pengembang bila itu di appartement, kalau perumahan tidak bisa. Apalagi sudah laku sampai 90 %. Ada kejadian di lingkungan tanggung jawab RT/ RW. Selain itu, fasum dan fasos juga belum diserahkan. Jika memang melihat berdasarkan perda dan perwali itu salah,” ujarnya saat selesai melakukan hearing, Senin (22/6/2020).

Sementara itu, anggota komisi A DPRD Surabaya, Arif Fathoni dalam hearing mengatakan kaget ketika pengembang menggugat SK yang dikeluarkan oleh Camat. Menurutnya ini suatu pembangkangan.

“Disisi lain, ada OPD yang masih lingkungan satu perkantoran dengan Pemkot Surabaya hanya memberikan teguran-teguran, ini menurut saya anomali. Jadi mestinya ketika pengembang itu melawan Pemkot dan menggugat keabsahan produk yang dikeluarkan di pengadilan mestinya OPD yang lain melakukan pressing yang sama dengan pengembang ini,” tegasnya.

Fathoni mengatakan bahwa pembentukan RT dan RW adalah domainnya pemerintah kota, tidak ada urusannya dengan pengembang. Terlebih jika perlu ketika pengembang Sinar Mas mengajukan apapun sebaiknya ditolak. Sebab, dia menilai tindakan pengembang adalah penghinaan dan pelecehan terhadap kehormatan Pemkot.

“Hubungan pengembang dengan pemilik selesai manakala jual beli ditanda tangani. Fasum fasos itu mestinya kalau pengembang berpotensi nakal Pemkot pro aktif. Kalau hanya surat menyurat saya pikir wajar ketika Pemkot agak di abaikan,” tegasnya.

Fathoni menyarankan bahwa Pemkot Surabaya punya Satpol PP sebagai penegak Perda dan Perwali. Jika ada institusi, badan hukum, atau individu yang berpotensi menabrak perda dan perwali maka seharusnya Satpol PP bisa bertindak.

“Lebih afdol Satpol PP mendatangi pengembang-pengembang dari pada mengangkuti dagangan,” tegasnya.

Untuk itu, Fathoni meminta kepada pemkot bahwa substansi IPP adalah dari warga, dikelola warga dan kembali oleh warga. Kalau kemudian iuran dari warga itu dipungut oleh pengembang yang peruntukannya tidak jelas, sudah dipastikan pengembang melanggar.

“Saya meminta Kabag hukum meminta Satpol PP untuk menghentikan iuran IPL. Tolong penegakan hukum secara progresif dalam kasus ini. Saya miris ketika camat mengeluarkan SK RT/RW yang tidak merugikan pengembang digugat tapi Pemkot mengalokasikan buffer zone ratusan miliar diduga punya Bukit Mas, kan aneh kita memperkaya badan hukum yang mengganggu kehormatan pemerintah kota. Itu saran saya,” ujarnya

Sementara itu, Pengacara warga Wisata Bukit Mas, Tony Suprayitno mengatakan pengaduan kepada DPRD kota Surabaya ini berawal dari keluhan warga yang keberatan terkait kenaikan IPL sebab dalam pembelian rumah, tidak dicantumkan kenaikan IPL setiap tahun.

“Akan tetapi dalam faktanya setiap tahun warga sering kali ditarif IPL yang tidak masuk akal tiba-tiba naik tanpa ada satupun negosiasi dengan warga. Bahwa ketika melakukan negosiasi dengan pihak pengembang mesti ditolak,” ujarnya

Lebih parahnya, lanjut Tony, jika terdapat salah satu warga yang ingin merenovasi rumah tetapi belum lunas membayar IPL tidak diizinkan oleh pihak pengembang. Tak hanya itu, jika ada warga yang ingin menambah daya listrik, akan ditarik uang oleh pengembang.

“Ini kan aneh, untuk apa ditarik uang. Dibuat apa dana tersebut kami tidak tahu. Ini sudah hampir 10 tahun. Dari mulai tahun 2010 dan puncaknya tahun 2018,” jelasnya. (Adv)

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.