20 April 2025

Get In Touch

Ini yang Akan Dilakukan Risma untuk Menurunkan Angka Kematian Covid-19

Ini yang Akan Dilakukan Risma untuk Menurunkan Angka Kematian Covid-19

Surabaya - Bertemu dengan Stafsus Kementrian Kesehatan Bidang Peningkatan Pelayanan, Alexander Kaliga Ginting, Walikota Surabaya Tri Rismaharini berjanji untuk mencari solusi terbaik guna terus menurunkan angka kematian kasus Covid-19 di Surabaya.

Pernyataan Risma ini seiring perintah Menkes untuk menurunkan angka kematian. Sebab, hampir 90 persen kematian dari pasien terkena covid-19 karena adanya penyakit bawaan (komorbid).

“Begitu dia kena yang memang jalur utamanya pernafasan kemudian impactnya ke sakit yang lain. Tapi kita tidak boleh mengatakan itu sebagai alasan. Artinya kita gak usah cari alasan, tapi bagaimana menurunkan angka kematian di Surabaya,” ujarnya saat di wawancarai di Balai Kota Surabaya, Rabu (1/7/2020).

Untuk penanganan pasien Covid-19 dibutuhkan ruang bertekanan negatif. hal ini dilakukan guna meningkatkan kesembuhan dari pasien. Namun demikian Risma menandaskan bahwa belum semua rumah sakit punya ruangan bertekanan negatif, sebab biaya yang dibutuhkan cukup mahal, sampai Rp 600 juta. Risma mengatakan jika sudah kena, tidak perlu.

“Nanti ini kita akan detilkan dengan tim Kemenkes. Mungkin setelah itu kita bisa kunjungan ke rumah sakit. Setelah itu kita akan bisa berdiskusi melihat protokol yang sudah dilakukan di rumah sakit sehingga nakes tidak boleh terpapar lagi. Bagaimana kami menggerakkan elemen masyarakat menurunkan angka positif. Kami melakukan tidak mudah itu terus terang, tapi bukan tidak bisa,” jelasnya.

Sementara itu, Stafsus Kementrian Kesehatan Bidang Peningkatan Pelayanan, Alexander Kaliga mengatakan bahwa kasus positif semakin tinggi ditambah dengan rumah sakit jadi penuh karena banyak yang seharusnya dirawat tak perlu dirawat lagi. Ini adalah imbas dari jika tidak dua kali swab negatif tidak boleh pulang.

“Ini akan direvisi dan sesuai pedoman WHO. Ini revisi kelima akan kita launching bulan ini juga jadi nanti yang tidak bergejala dan ringan ada di rumah sakit. Jadi yang dirawat adalah yang bergejala,” ujarnya.

Alexander mengatakan secara medis virus ini ada replikasi bukan membelah. Jadi jika spreadingnya banyak tapi hanya replikasi semakin lama semakin hilang.

“Karena dia replikasi seperti mesin fotocopy. Kalau difotocopy lalu di fotocopy lagi makin lama makin burem kan? Nah virus itu juga kita harapkan virulensinya makin rendah. Kalau virulensinya rendah, angka kesakitannya rendah. Tidak semua PCR positif harus dirawat di rumah sakit, harus kita didik harus bisa isolasi mandiri,” jelasnya.

Ia menjelaskan, bahwa pasien yang perlu perawatan itu presentasenya 3-4 persen. Jadi yang datang itu yang sudah memerlukan alat bantu nafas. Sementara presentase 2-3 persen biasanya pasien dengan penyakit penyerta yang tidak terkontrol misalnya diabetes, hipertensi, obesitas.

“Yang membuat dia masuk ke ruang isolasi khusus karena keterlambatan masuk rumah sakit. Jadi prinsipnya kita harus melihat gejala. Jangan nunggu lab, kita gak ngobati PCR. Kita obatinya gejala seperti demam, batuk, sakit tenggorokan, diare, dan sesak nafas. Dengan semakin dini dia dideteksi maka semakin baik responsnya,” pungkasnyq.

Dalam revisi kelima Nantinya tidak ada lagi istilah ODP, PDP akan tetapi pakai istilah suspect, probable, confirmed.

“Jadi mereka nanti dengan gejala dan PCRnya positif masuk confirmed. Kalau PCRnya belum positif maka masuk probable. Mereka yang close contact bisa dengan gejala atau tidak, masuk suspect,” pungkasnya. (ard)

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.