
MALANG (Lenteratoday) - Geruduk gedung Rektorat, ratusan Mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) menegaskan melawan dampak komersialisasi pendidikan dan menolak sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) 12 golongan.
Aksi ini dipimpin oleh Presiden Eksekutif Mahasiswa (EM) UB, Satria Naufal yang memperingatkan adanya konsekuensi sosial dan identitas universitas terkait dengan kebijakan tersebut. Naufal menegaskan seruan aksi ini bertujuan mendesak pihak rektorat UB, agar bersama-sama memperjuangkan kesejahteraan mahasiswa baik di tingkat lokal maupun nasional.
"Kami ingin mendesak pihak rektorat untuk bisa membersamai kami dalam mendesak Kemendikbud RI, sehingga kami akan mengeskalasikan dalam kampus terkait bantuan keuangan. Kedua, kami juga akan mengekskalasikan secara nasional," ujar Naufal, Rabu(22/5/2024).
Naufal menjelaskan keputusan UB untuk tetap mempertahankan sistem UKT 12 golongan, akan memunculkan ketidakpercayaan terhadap rektorat UB. Ia mengilustrasikan situasi yang memprihatinkan, di mana beberapa mahasiswa terpaksa menggadaikan barang-barang pribadi untuk dapat melanjutkan pendidikan di UB.
Menurutnya, kebijakan ini telah mencoreng identitas UB sebagai tempat pendidikan yang inklusif, dengan hanya memprioritaskan kalangan ekonomi atas.
"Kalau ini terus diterapkan, menandakan bahwa kepanjangan huruf B di UB itu bukan Brawijaya, tapi Borjuis. Karena hanya kalangan borjuis saja, yang secara implisit diperbolehkan masuk ke sini. Kita akan membuat distrust bahwa rektorat gagal, kita akan memunculkan bahwa UB tidak menerima teman-teman yang kurang mampu," seru Naufal.
Tidak hanya itu, Naufal juga menyoroti ketidaksiapan UB dalam menghadapi dampak dari status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH). Ia mengutip penolakan dari beberapa petinggi Universitas Trisaksi, terhadap status PTNBH karena potensi komersialisasi yang besar.
"Sedangkan sampai hari ini UB masih terpaku pada pendapatan UKT, sehingga itu valid yang menjadi akar dari akar adalah ketidaksiapan dampak dari status PTNBH," tegasnya.
Dalam respons terhadap aksi mahasiswa ini, Wakil Rektor 2 UB, Prof. Dr. Muchamad Ali Safaat, SH.MH menyambut baik langkah mahasiswa sebagai bentuk kebebasan akademik, ia menekankan UB terbuka untuk berdialog dengan mahasiswa dan mempertimbangkan beberapa tuntutan yang memungkinkan terutama dalam hal bantuan keuangan.
Meskipun demikian, Prof Ali menjelaskan bahwa penghapusan sistem UKT 12 golongan bukanlah solusi mutlak, karena hal tersebut berkaitan dengan nilai-nilai keadilan.
"Ini persoalan nilai, bukan lagi persoalan kuat-kuatan. Dengan 12 golongan ini kita bisa adil dengan setiap kondisi orang tua mahasiswa. Rumus kita berdasarkan penghasilan orang tua, kita asumsikan 30 persen pendapatannya untuk biaya pendidikan. Kalau orang tuanya tinggal satu, atau sakit itu juga ada indeks pengurangan. Petani itu juga ada indeksnya karena berdasarkan pekerjaan," paparnya.
Reporter:Santi Wahyu/Editor:Ais