10 April 2025

Get In Touch

Kasus Penyelundupan Manusia ke Luar Negeri Cukup Tinggi

Para warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Myanmar bersiap menaiki kendaraan pada Minggu (7/5/2023). (Kemenlu)
Para warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Myanmar bersiap menaiki kendaraan pada Minggu (7/5/2023). (Kemenlu)

JAKARTA (Lenteratoday) - Direktur Pelindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, mengungkapkan tingginya angka kasus penyelundupan manusia. Dia menyebut dari 53 ribu kasus Warga Negara Indonesia (WNI) yang berangkat ke luar negeri secara unprosedural, mayoritas kasus penyelundupan manusia.

Dia menandaskan, selama ini ini kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) lebih kerap dan menarik perhatian untuk dibicarakan. Namun, angka penyelundupan manusia lebih banyak. Meski demikian, dia tidak bisa merinci angkanya, sebab tidak tercatat secara rinci di Kementerian Luar Negeri.

"Karena penyelundupan manusia dia yang mau berangkat, jadi dia nggak mau lapor," ujar Judha dilansir dari tempo, Kamis (27/6/2024).

Dia menandaskan bahwa kasus ini berbeda dengan korban TPPO yang melapor kepada Konsulat Jenderal RI setempat, karena mereka merasa dieksploitasi.

Umumnya, menurut Judha, kasus penyelundupan manusia memiliki kenalan atau keluarga di negara tujuan dan diajak untuk ikut bekerja di sana. Dengan kemauan sendiri, ia pindah ke negara lain. Namun dalam kasus TPPO, ada pemaksaan dan ekspolitasi serta pencabutan kemerdekaan korban.

Berdasarkan data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) pada Agustus 2023 ada 2.425 korban TPPO yang berhasil diselamatkan. Data itu dari laporan yang diterima selama rentan waktu 5 Juni-14 Agustus.

Sementara, berdasarkan data dari satu data indonesia, ada 3.363 korban TPPO selama tahun 2023. Data ini dihimpun dari data Bareskim dan Polda. Artinya, angka korban penyelundupan manusia lebih dari itu.

Dilansir dari Tempo, menyebutkan bahwa tingginya angka korban penyelundupan manusia salah-satunya karena sistem perizinan di Indonesia yang ribet dan mahal. "Jalur resmi mbulet, mahal prosesnya mejanya banyak," ujar seorang sumber.

Sementara ia menyebut negara lain seperti Filipina mampu memfasilitasi warganya untuk bekerja di luar negeri dengan sistem yang ringkas.

Menaggapi hal itu, Judha mengakui, bahwa memang perlu adanya pembenahan tata kelola di imigrasi. Yakni membuat koridor aman migrasi yang mudah, murah dan aman. "Perlu dilakukan penyederhanaan proses administrasi keberangkatan ke luar negeri," ujar Judha.

Ia juga menyebut, Indonesia perlu membuat sistem layanan pekerja migran satu pintu. Lewat cara ini, pekerja migran hanya perlu melalui satu pintu loket untuk memenuhi prasyarat. Pekerjaan rumah selanjutnya ialah, masing-masing lembaga yang terlibat harus bekerja sama di satu loket yang terkoordinasi. (*)

Sumber : Tempo | Editor : Lutfiyu Handi

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.