
PERJALANAN (Lenteratoday) -Akhir tahun banyak tawaran menarik dari sejumlah biro perjalanan umrah. Macam-macam tujuan. Ada Umrah Plus Turki, Umrah Plus Uzbekistan, Umrah Plus Al Aqsha serta Umrah Plus Mesir.
Jauh-jauh hari saya memilih Umrah Plus Mesir. Artinya, tujuan setelah melaksanakan ibadah umrah ingin plesir ke Mesir.
Perjalanan ke Mesir seperti memutar ulang kenangan. Tahun 2018 saya bersama istri mengunjungi beberapa tempat ziarah. Kami mengikuti “Tur Jejak Rasul”. Berawal dari Makkah-Madinah-Mesir, berlanjut ke Palestina.
Banyak tempat-tempat istimewa di Mesir, layak dikunjungi.
Membicarakan Mesir adalah kembali mengingat tentang sejarah panjang perjuangan. Bahkan, kata “Mesir” sudah terlanjur ada dalam memori kepala.

Masa kecil dahulu, penuh dengan kisah para nabi. Guru agama di Sekolah Dasar Kapaskrampung Kulon Surabaya selalu mengisahkan dengan sepebuh hati.
Teringat kisah Nabi Musa. Ketika tongkat beliau menjelma jadi ular raksasa. Ketika tangan beliau bercahaya dengan gagahnya. Ketika laut terbelah membungkam Fir’aun yang sombong; dan kisah-kisah lainnya.
Kisah-kisah itu membuat saya dan banyak kawan-kawan lainnya duduk manis terkesima mendengarkan cerita di sela-sela jam belajar. Semua terjadi dengan latar sejarah yang megah: namanya Mesir. Bayang-bayang penuh imajinasi.
Saya ingat Alexanderia, kawasan sejuk semilir di tengah lalu lintas yang padat. Tahun 2018 -ketika saya singgah, persis mendekati pemilihan presiden. Abdul Fattah as- Sisi yang berkuasa sejak 2014 -sang patahana, ingin berkuasa lagi.

Moncong senjata ada dimana-mana. Turun dari pesawat di bandara International Kairo disambut tentara-tentara dengan senjata laras panjang. Tentara tanpa senyum. Mereka berdiri penuh curiga.
Di benak saya -waktu itu, Mesir bukan sekadar tempat plesir. Tanah, udara, dan angit di sana menceritakan kepada kami -para peserta tur, tentang begitu gempitanya pelita keislaman yang pernah bersemi di masa jayanya.
Saya paham bahwa hari-hari panjang setelah kudeta militer: Mesir sepertinya sedang merintih. “Langitnya menangis. Tanahnya gemertak, dan angin-anginnya pilu,” tulis Edgar Hamas, sejarawan dan mahasiswa yang pernah mengenyam ilmu disana.
Saat ini Mesir telah menjadi saksi kebenaran yang dibungkam. Mesir seperti dipaksa untuk merasakan kembali bagaimana Mesir di zaman kegelapan.
Begitulah Mesir: dulu, kini, dan nanti. Ada anak-anak Musa. Ada anak-anak Fir’aun. Ada keturunan sejati Shalahuddin dan ada juga cucu-cucu zalim si Syawar. Ada generasi yang angkuhnya seangkuh Haman.
Semua ada di Mesir. Panggung sejarah itu akan memberi pelajaran bagi manusia: bahwa KEBENARAN dan KEBATILAN akan selalu berperang hingga mentari terbit dari barat.
Alhamdulillah, perjalanan saya hanya sampai umrah saja. Lantaran sesuatu hal, rencana ke Mesir tertunda. Niat awal ibadah umrah. Ke Mesir hanya plesir. Qodarallah (*)
dari Madinah: Arifin BH, wartawan dan penulis buku