13 April 2025

Get In Touch

Indonesia Alami Deflasi dan Penurunan Daya Beli Masyarakat

Ilustrasi harga kebutuhan pokok pemicu deflasi di Kota Malang, Pedagang Pasar Klojen. (Santi/Lenteratoday)
Ilustrasi harga kebutuhan pokok pemicu deflasi di Kota Malang, Pedagang Pasar Klojen. (Santi/Lenteratoday)

JAKARTA (Lenteratoday) - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan Mei hingga September. Kondisi ini memacu penurunan daya beli masyarakat Indonesia belakangan ini.

BPS melaporkan Indonesia mengalami deflasi mulai Mei 2024 dengan angka 0,03 persen. Kemudian angka ini turun menjadi 0,08 persen di bulan Juni. Selanjutnya pada Juli menjadi 0,18 persen dan 0,03 persen di Agustus, hingga menjadi 0,12 persen di September. Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Juli mencapai 106,09.

Kemudian, melemahnya daya beli ini berdampak pada konsumsi rumah tangga, yang selama ini menjadi motor penggerak utama perekonomian. Fenomena ini berisiko memicu spiral deflasi, yaitu situasi di mana penurunan harga berlanjut akibat rendahnya permintaan dan konsumsi, yang pada gilirannya memperdalam penurunan harga dan memperburuk perekonomian Indonesia.

Deflasi ini mencerminkan tren penurunan harga yang telah terjadi selama tiga bulan berturut-turut. Lebih lanjut, tingkat deflasi pada Juli tercatat lebih dalam dibandingkan dengan deflasi bulan Juni, yang menunjukkan adanya penurunan permintaan dan konsumsi masyarakat secara berkelanjutan.

Ada beberapa faktor utama penyebab terpuruknya daya beli masyarakat: yang pertama adalah inflasi dan fluktuasi harga barang, meskipun terjadi deflasi di beberapa bulan terakhir, biaya hidup masyarakat tetap tinggi. Kenaikan harga pangan dan energi membuat banyak orang harus memangkas belanja konsumtif demi memenuhi kebutuhan pokok. Inflasi yang tinggi pada sektor tertentu memperburuk kondisi ini.

Sementara mengenai deflasi, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad memaparkan kondisi itu bisa dilihat dari volatile food atau kategori pangan bergejolak seperti daging ayam ras, telur, hingga bawang merah. Kategori tersebut merupakan kebutuhan pokok masyarakat yang seharusnya tetap dikonsumsi, meski harganya mengalami perubahan.

“Tapi ketika masyarakat tidak punya daya beli, akhirnya dia tidak sanggup dan mengakibatkan harga turun. Dan itu menjadi deflasi,” terang Tauhid kepada Tempo, Kamis, 3 Oktober 2024.

Selain mencatat deflasi, ia juga merujuk data Purchasing Manager’s Index (PMI) sektor manufaktur Indonesia, tercatat pada September 2024 turun ke zona kontraksi di level 49,2. Tren kontraksi ini telah berlangsung sejak Juli, menandakan adanya penurunan aktivitas industri secara konsisten.

Kemudian yang kedua adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Gelombang PHK di sektor formal akibat ketidakstabilan ekonomi menyebabkan peningkatan jumlah pengangguran. Hal ini memaksa masyarakat bergantung pada tabungan atau mencari penghasilan di sektor informal, yang cenderung tidak stabil.

Di sisi lain, Tauhid menambahkan bahwa faktor yang menurutnya menjadi indikator melemahnya daya beli adalah penurunan peserta BPJS Ketenagakerjaan. Merujuk pada data BPJS Ketenagakerjaan periode Januari 2023-Mei 2024, ada penurunan tren peserta aktif sebesar 4,27 persen di sektor garmen dan pakaian jadi.

Ketiga adalah pendapatan riil yang tidak meningkat. Pendapatan riil, yaitu pendapatan setelah disesuaikan dengan perubahan harga, menjadi faktor utama yang memengaruhi daya beli masyarakat. Apabila pendapatan riil bertambah, kemampuan seseorang untuk membeli barang dan jasa juga meningkat dibandingkan sebelumnya.

Namun, agar daya beli benar-benar naik, kenaikan pendapatan harus lebih tinggi atau setidaknya sebanding dengan kenaikan harga di pasar. Apabila pendapatan nominal naik tetapi harga barang dan jasa ikut naik dengan laju yang sama, daya beli tidak mengalami peningkatan secara riil.

Keempat, menguras tabungan untuk kebutuhan harian. Tauihid menilai, bahwa kondisi penurunan daya beli masyarakat juga dapat disebabkan oleh pekerja sektor informal yang memilih untuk menghentikan kepesertaan mereka secara mandiri karena pendapatan mereka menurun. Tidak adanya dukungan dari perusahaan membuat mereka harus menanggung biaya sendiri, dan dalam situasi ekonomi yang sulit, banyak yang terpaksa memprioritaskan kebutuhan dasar.

“Dilihat dari data-data LPS, saya kira menunjukkan bahwa yang tadinya buat saving harus diambil buat kebutuhan sehari-hari. Masyarakat harus mengencangkan ikat pingganya lagi,” pungkasnya.

Kelima, minimnya lapangan kerja. Penurunan daya beli masyarakat kerap dikaitkan dengan terbatasnya peluang kerja. Ketika lapangan pekerjaan tidak mencukupi, angka pengangguran akan meningkat, sehingga banyak orang kesulitan memperoleh pendapatan. Kondisi ini berdampak pada kemampuan masyarakat untuk berbelanja, karena tanpa penghasilan yang memadai, mereka terpaksa menahan konsumsi dan mengurangi pembelian barang serta jasa.

keenam, pajak. Kenaikan pajak cenderung menurunkan daya beli masyarakat karena pajak mengurangi pendapatan riil. Pajak yang dipotong dari penghasilan berarti bahwa saat pajak meningkat, pendapatan riil berkurang, sehingga seseorang akan memiliki kemampuan yang lebih rendah untuk membeli barang dan jasa dibandingkan sebelum adanya kenaikan pajak. Hal ini dapat mengurangi tingkat konsumsi, yang merupakan faktor kunci dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pajak yang lebih tinggi biasanya akan memperlambat pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Dan, ketujuh adalah ketersediaan kredit dan beban utang. Masyarakat sering kali membeli barang atau jasa yang mahal dengan menggunakan kredit. Jika barang tersebut sangat diperlukan, mereka akan mencari pinjaman untuk memenuhinya.

Oleh karena itu, ketersediaan kredit dari lembaga keuangan, baik untuk perusahaan maupun konsumen, memiliki dampak signifikan terhadap daya beli masyarakat. Dengan akses kredit yang baik dari bank, baik perusahaan maupun konsumen dapat melakukan lebih banyak belanja, yang pada gilirannya akan meningkatkan daya beli. Selain itu, lembaga keuangan juga mendapatkan keuntungan dari bunga pinjaman, sehingga lebih banyak uang beredar dalam perekonomian suatu negara.

Sementara itu, beberapa waktu lalu Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menegaskan saat ini ekonomi Indonesia berada dalam kondisi yang sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari inflasi yang terjaga secara year on year pada September sebesar 1,84 persen. Dirinya juga menegaskan secara umum daya beli masyarakat tidak mengalami penurunan.

"Inflasi sebesar 1,84 adalah inflasi yang bagus terendah, dan saya sampaikan daya beli masyarakat tidak menurun tapi meningkat," kata Tito dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (9/10/2024).

Dia menjelaskan daya beli masyarakat dapat dilihat dari core inflation (inflasi inti) seperti sektor rekreasi, restoran, jasa, pendidikan, hingga perawatan pribadi.

Di bulan September, sambung dia, perawatan pribadi dan jasa pribadi mengalami kenaikan inflasi sebesar 0,38 persen. Hal ini menandakan bahwa daya beli masyarakat masih tinggi.

Sementara kenaikan inflasi untuk sektor pendidikan mencapai 0,29 persen dan restoran 0,13 persen.

"Artinya apa? Masyarakat belanja untuk pendidikan anak-anaknya mungkin dan ada uang," ujarnya.

Di lain sisi, makanan, minuman, dan tembakau mengalami deflasi atau penurunan harga. Kondisi ini merupakan sinyal yang baik lantaran mencerminkan harga pangan turun, suplai, dan distribusi bahan pangan berjalan lancar.

Namun, dirinya menegaskan, sebagai negara produsen Indonesia harus mampu menjaga stabilitas harga yang menguntungkan antara produsen dan konsumen. (*)

Sumber : antara,tempo | Editor : Lutfiyu Handi

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.