Pakar Ekonomi UB Sebut Kebijakan Kenaikan PPN Bisa Ganggu Daya Beli Masyarakat, Apa Solusinya?

MALANG (Lenteratoday) - Pakar ekonomi Universitas Brawijaya (UB), Dias Satria, S.E., M.App.Ec., Ph.D., menyebutkan kebijakan pemerintah yang akan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dapat mengganggu daya beli masyarakat. Menurutnya, kebijakan ini berisiko mengurangi konsumsi domestik yang penting untuk pertumbuhan ekonomi.
Dias pun mengusulkan perlunya evaluasi mendalam dan kebijakan insentif untuk mengatasi dampak negatif tersebut.
“Secara makro, pajak memang mengurangi pendapatan disposabel masyarakat sehingga menurunkan konsumsi. Ini akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Pemerintah perlu melihat sensitivitas dampak kenaikan PPN ini terhadap konsumsi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan,” ujar Dias, Selasa (3/12/2024).
Jika daya beli turun, Dias memperingatkan dapat terjadinya risiko deflasi yang berdampak lebih serius dibanding inflasi. "Deflasi jauh lebih berbahaya daripada inflasi. Ada istilah deflation spiral, yangmana deflasi membuat pertumbuhan ekonomi rendah dan berdampak luas pada sektor lain,” ungkapnya.

Selain itu, Dias menyebut deflasi dapat memengaruhi ekspektasi investasi. Menurutnya, pelaku bisnis akan cenderung menahan ekspansi ketika harga barang terus menurun, sehingga aktivitas bisnis pun melambat.
“Sebaliknya, inflasi yang terkendali justru memicu aktivitas bisnis yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi,” kata Dias.
Untuk memitigasi dampak negatif dari kebijakan kenaikan PPN yang akan berlaku pada 1 Januari 2025 nanti, Dias menekankan perlunya insentif yang tepat sasaran, seperti subsidi langsung atau pengurangan beban pajak pada sektor tertentu. Langkah ini dinilainya penting untuk menjaga stabilitas daya beli masyarakat.
“Harus ada riset berbasis data untuk melihat apakah benar kenaikan pajak ini akan meningkatkan pendapatan negara, atau justru mengorbankan pertumbuhan ekonomi. Ini harus dihitung secara matang agar kebijakan ini tidak menjadi bumerang,” tegasnya.
Di sisi lain, asisten profesor ekonomi dan bisnis UB, ini juga menyoroti relevansi strategi pemerintah dalam menghadapi perubahan pola perdagangan internasional. Menurutnya, pemerintahan Prabowo-Gibran kini lebih mengedepankan pendekatan bilateral dibandingkan multilateral.
Ia menilai, perdagangan bilateral menjadi kunci di tengah fluktuasi ekonomi global yang semakin kompleks. "Contohnya, Indonesia sangat tergantung pada hubungan dagang dengan Amerika Serikat. Hal ini hanya bisa dipecahkan melalui perjanjian bilateral. Begitu juga dengan Eropa, yang memiliki banyak kepentingan di Indonesia,” jelas Dias.
Langkah diplomatik pemerintah dalam memperkuat hubungan perdagangan bilateral, menurutnya, merupakan kebijakan strategis yang dapat membawa manfaat signifikan bagi perekonomian nasional.
Reporter: Santi Wahyu|Editor: Arifin BH