03 April 2025

Get In Touch

Ketum DPP IPHI: Kasus Julia Santoso Potret Buram Penegakkan Hukum dan Ancaman Investasi di Indonesia

Ketum DPP IPHI, Rahmat Santoso (kiri) bersama Menko Bidang Pangan, Zulkifli Hasan (kanan).
Ketum DPP IPHI, Rahmat Santoso (kiri) bersama Menko Bidang Pangan, Zulkifli Hasan (kanan).

BLITAR (Lenteratoday) - Mencuatnya kasus Julia Santoso akhir-akhir ini, membuat kita sebagai praktisi hukum maupun masyarakat umum harus kembali mengelus dada. Perempuan pengusaha tambang itu bernasib malang, karena masih harus mendekam alam jeruji penjara. Padahal, hakim praperadilan sudah memutuskan Julia Santoso harus dibebaskan.

Hal ini disampaikan Ketua Umum DPP Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Rahmat Santoso menanggapi Putusan Praperadilan No.132/Pid.Pra/2024/PN.Jkt.Sel tertanggal 21/1/2025, hakim tidak hanya menyatakan membebaskan Julia Santoso dari tahanan, namun juga membatalkan Penetapan Tersangka dan menyatakan Tidak Sah Surat Perintah Penahanan Julia Santoso.

Sebelumnya, Julia Santoso ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penipuan, penggelapan dan TPPU di PT Anugrah Sukses Mining (ASM) oleh Penyidik Dittipidter Bareskrim Polri.

"Sebagai warga negara taat hukum, Ibu Julia Santoso sebagai ahli waris dari PT ASM memilih berjuang mencari keadalian lewat jalur praperadilan," tutur Rahmat dalam keterangannya diterima di Blitar, Sabtu(25/1/2025).

Perjuangannya mencari keadilan membuahkan hasil, gugatan Julia Santoso dikabulkan hakim. Mirisnya, Bareskrim Polri sebagai institusi penegak hukum justru memberi contoh buruk. Keputusan hakim agar membebaskan Julia Santoso dari tahanan seakan tidak digubris.

"Hingga saat ini, sejak putusan hakim itu dibacakan, Julia Santoso masih mendekam dalam penjara. Jika penegak hukum tidak taat putusan hukum, kemana lagi masyarakat harus mencari keadilan?. Jelas, apa yang sudah dipertontonkan Bariskrim POLRI adalah tindakan Abuse of Power, bertindak semena-mena serta melebihi kekuasannya," tandas Rahmat yang juga mantan Wakil Bupati Blitar ini.

Jika kita menengok kembali ke belakang, putusan hakim di praperadilan bersifat inkrah alias final dan wajib dijalankan. Belum lekang di ingatan, Menkopolhukam Budi Gunawan, Wamenkum Edi Hiariej serta mantan Ketua Golkar Setyo Novanto pernah juga menempuh jalur praperadilan. Mereka juga menang sama seperti Julia Santoso. Apakah status mereka masih tersangka sama seperti Julia Santoso?

Aroma Rekayasa Menguat

Abuse of Power yang ditunjukkan institusi Bareskrim Polri sebagai penegak hukum, semakin menguatkan aroma rekayasa pada perkara Julia Santoso ini. Latar belakang kasus ini berawal dari Direktur PT HR dan PT ASM, Soter Sabar Gunawan Harefa (SSGH) yang melaporkan Julia Santoso ke Bareskrim Polri atas tuduhan tindak pidana penggelapan dan pencucian uang.

Sebelumnya SSGH berada di pihak Julia Santoso dalam menghadapi perselisihan dengan perusahaan asing, yaitu China Tianjin International Economic & Technical Cooperation Group Corporation (CTIE) dan Tianjin Jinshengda Industrial Co. Ltd (TJI Co. Ltd).

"Namun, situasi berubah setelah SSGH dilaporkan oleh TJI Co. Ltd ke Bareskrim Polri dan menjadi tersangka. Setelah penahanannya ditangguhkan dan kasusnya dihentikan dengan alasan restorative justice, SSGH justru bersekutu dengan TJI Co. Ltd dan melaporkan balik Julia Santoso," paparnya.

Kasus ini bermula dari kerja sama bisnis pada 15 November 2013 antara PT HR dan PT ASM dengan CTIE dan TJI Co. Ltd, terkait usaha tambang dan penjualan bijih nikel. Namun, perselisihan muncul akibat dugaan wanprestasi, dan perjanjian menyatakan bahwa penyelesaian sengketa dilakukan melalui arbitrase di Singapura menggunakan hukum Indonesia.

Pada 1 November 2021, CTIE dan TJI Co. Ltd melaporkan SSGH ke Bareskrim Polri atas tuduhan tindak pidana penipuan, penggelapan, dan pencucian uang. Kasus tersebut berakhir dengan penghentian penyidikan (SP3) berdasarkan mekanisme restorative justice, setelah SSGH menandatangani perjanjian perdamaian dengan TJI Co. Ltd.

Perjanjian perdamaian tersebut cacat hukum karena tidak melibatkan pemegang saham lainnya, termasuk Julia Santoso, yang memiliki 99 persen saham PT HR. Selain itu, perjanjian tersebut juga tidak melibatkan CTIE, salah satu pihak dalam perjanjian kerja sama awal pada 2013.

Apalagi perjanjian perdamaian itu dibuat saat SSGH masih berstatus tersangka dan dikemas melalui mekanisme Restorative Justice, sehingga dipastikan SSGH selaku wakil PT HR dan PT ASM berada dalam keadaan tidak bebas bahkan masih tersandera oleh status tersangkanya.

Pemberian SP3 kepada SSGH pada 6 November 2023, dengan alasan restorative justice juga jelas tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh KUHAP terutama dalam kasus tindak pidana biasa. KUHAP secara limitatif menetapkan alasan SP3, yakni hanya karena tidak cukup bukti, peristiwa tersebut bukan tindak pidana dan demi hukum.

"Alasan SP3 demi hukum, juga diatur secara limitatif, yakni jika nebis in idem, tersangka meninggal dunia dan kadaluarsa. Lha ini, SSGH masih hidup," tegas pria yang juga Vice President Kongres Advokat Indoensia (KAI) ini.

Tak salah jika rekannya, Petrus sebagai kuasa hukum Julia Santoso menyebut bahwa penyidikan dalam perkara SSHG berdasarkan Laporan Polisi No. LP/B/0664/XI/2021, tanggal 1/11/2021, berjalan tidak profesional, amburadul dan melanggar hukum, karena hanya memenuhi pesanan pihak ketiga.

Dugaan rekayasa yang dibuat sejak awal itu, semakin parah dengan sikap Bareskrim Polri yang tidak mengubris putusan praperadilan dengan tetap menahan Julia Santoso.

"Apa yang terjadi ini menjadi preseden buruk, tidak hanya pada sistem hukum Indonesia, tapi juga mengancam dunia investasi. Tidak adanya kepastian hukum, dipastikan investor akan berpikir beribu kali untuk menanam uangnya di negeri yang kita cintai ini," pungkas Rahmat.

Reporter: Ais/Editor: Arief Sukaputra

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.