03 April 2025

Get In Touch

Jalan Nasional Nyaris Tidak Ada yang Memenuhi Standar Keselamatan

Pakar Transportasi dan Keselamatan Jalan Raya Universitas Widyagama (UWG) Malang, Prof. Dr. Ir. Aji Suraji, ST., MSc., IPU., ASEAN Eng, saat mela
Pakar Transportasi dan Keselamatan Jalan Raya Universitas Widyagama (UWG) Malang, Prof. Dr. Ir. Aji Suraji, ST., MSc., IPU., ASEAN Eng, saat mela

MALANG (Lentera) – Keselamatan jalan raya di Indonesia masih jauh dari standar ideal. Pakar Transportasi dan Keselamatan Jalan Raya Universitas Widyagama (UWG) Malang, Prof. Dr. Ir. Aji Suraji, ST., MSc., IPU., ASEAN Eng, mengungkapkan nyaris tidak ada jalan nasional di Indonesia yang benar-benar memenuhi standar keselamatan yang seharusnya diterapkan.

Menurut Prof. Aji, penelitian yang telah dilakukannya di berbagai wilayah di Indonesia, menunjukkan geometri jalan dan kondisi perkerasan memiliki pengaruh besar terhadap potensi kecelakaan lalu lintas. Namun, dalam praktiknya, masih banyak jalan nasional yang tidak memenuhi standar yang telah ditetapkan pemerintah.

“Jalan itu bukan sekadar bisa dilewati, tetapi harus berkeselamatan. Artinya, jalan harus memberikan jaminan keselamatan kepada pengguna. Namun, di Indonesia, aspek keselamatan jalan masih belum menjadi perhatian utama,” ujarnya, Sabtu (1/3/2025).

Ditegaskannya, di negara-negara maju, konsep jalan berkeselamatan telah mulai dijadikan standar utama dalam pembangunan infrastruktur. Sementara itu, di Indonesia, menurutnya masih banyak jalan yang tidak sesuai standar.

Dalam penelitiannya, Prof. Aji lebih banyak menyoroti jalan nasional karena alokasi anggarannya yang besar dari APBN. Seharusnya, dengan anggaran yang lebih tinggi dibandingkan jalan provinsi atau kabupaten, jalan nasional memiliki kualitas yang lebih baik dan memenuhi standar keselamatan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya.

“Nyaris tidak ada, tetapi tingkat keparahannya bermacam-macam. Ada saja yang kurang. Entah itu rambunya, lubangnya, geometriknya tidak memenuhi standar, entah itu tikungannya yang terlalu tajam, dan segala macamnya,” katanya.

Lebih lanjut, Prof. Aji menjelaskan sebuah jalan dapat dikategorikan berkeselamatan jika memenuhi beberapa aspek utama. Salah satunya adalah kondisi perkerasan jalan yang harus mulus dan bebas dari lubang. Jika terjadi lubang pada jalan, perbaikannya harus dilakukan dalam waktu yang telah ditentukan sesuai dengan standar pelayanan minimum.

“Untuk jalan nasional, toleransi perbaikan kerusakan jalan itu 2 x 24 jam atau maksimal 7 x 24 jam. Jika ada lubang atau kerusakan yang berpotensi membahayakan pengguna jalan, maka harus segera diperbaiki dalam rentang waktu itu,” paparnya.

Selain itu, aspek geometri jalan juga harus mendapat perhatian serius. Titik rawan kecelakaan atau blackspot harus segera dievaluasi oleh instansi terkait, seperti Kementerian PU, Bina Marga, dan kepolisian, agar dapat segera dibenahi guna menekan angka kecelakaan lalu lintas.

Meski kondisi keselamatan jalan nasional masih jauh dari ideal, Prof. Aji mengakui sudah ada upaya dari berbagai pihak untuk memperbaikinya. Kelompok masyarakat, LSM, akademisi, serta peneliti mulai melakukan tekanan agar pemerintah lebih serius dalam mewujudkan jalan yang berkeselamatan.

Namun, ia menekankan proses perbaikan ini tidak bisa dilakukan secara instan dan membutuhkan usaha yang tidak sederhana. “Ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi kita semua, baik pemerintah, akademisi, maupun masyarakat. Jalan yang aman dan berkeselamatan harus menjadi prioritas, bukan sekadar infrastruktur yang bisa dilewati tanpa mempertimbangkan keselamatan penggunanya,” pungkasnya. (*)

Reporter: Santi Wahyu | Editor : Lutfiyu Handi

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.