
SURABAYA (Lentera)- Hari Raya Idulfitri di Indonesia bukan sekadar menjadi momen religius, tetapi juga kesempatan untuk mempererat hubungan dengan keluarga besar dan kerabat.
Namun, dibalik keakraban tersebut, seringkali muncul pertanyaan-pertanyaan personal yang menyentuh aspek kehidupan individu, seperti hubungan romansa, pekerjaan, atau rencana masa depan.
Menurut Dosen Psikologi Universitas Airlangga (Unair) Atika Dian Ariana MSc MPsi Psikolog, fenomena ini berkaitan dengan budaya kolektivistik yang mengakar dalam masyarakat Indonesia.
Dalam budaya ini, terdapat pandangan bahwa kepentingan individu adalah bagian dari kepentingan bersama.
“Sebenarnya, dalam konteks positif mereka ini peduli, memberikan perhatian satu sama lain. Mereka ingin mengetahui bahwa orang yang sedang berinteraksi dengannya dalam kondisi baik-baik saja, bahkan mungkin ada improvement dari Lebaran tahun lalu. Akan tetapi, dalam konteks negatif, hal ini dianggap kepo dan melanggar batas privasi, itu yang kemudian menjadi persoalan,” kata Atika, Sabtu (29/3/2025).
Atika berpendapat desakan beberapa pertanyaan tersebut dapat menyebabkan turunnya ekspektasi sosial ketika sedang berinteraksi. "Ketika kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan yang di luar ekspektasi, itulah yang membuat kita merasa kecewa. Apalagi ketika apa yang ditanyakan itu sebenarnya merupakan pertanyaan yang sudah membebani kita," ujarnya.
Atika menambahkan akan timbul rasa traumatis ketika individu mendapat pertanyaan yang sebelumnya sudah membebaninya. "Bisa saja seseorang itu sedang berjuang dengan skripsinya atau karena satu dan lain hal memutuskan untuk mengundurkan diri dari perkuliahan. Jadi kondisinya dia sedang tidak mengikuti kegiatan akademik apapun dalam konteks yang tidak menyenangkan. Ketika itu ditanya akan membangkitkan rasa tidak nyaman dan sedih," jelasnya.
Ia menuturkan, ada dua cara untuk menyikapi emosi yang muncul akibat pertanyaan-pertanyaan tersebut. Atika menyebut individu dapat memilih menggunakan cara fight (melawan rasa itu) atau cara flight (melarikan diri).
"Melarikan diri ini tidak bisa selalu kita lakukan, semisal dalam reuni keluarga, di mana semua keluarga hadir, maka mau tidak mau kita harus fight. Salah satu cara fight-nya, yaitu menyiapkan jawaban, tetapi tentu ini perlu dipertimbangkan apakah jawaban kita akan membuat lawan bicara tidak bertanya lebih lanjut atau justru bertanya semakin personal. Jadi yang bisa kita lakukan adalah menyiapkan diri sedini mungkin sebelum kita mengikuti event sosial dan mengelola ekspektasi kita," ucap Atika.
Selain itu, individu bisa melakukan teknik grounding apabila efek dari pertanyaan itu masih menimbulkan rasa tidak nyaman. Teknik grounding ini berupaya mengalihkan perasaan cemas melalui aktivitas panca indra, seperti olah mengatur pernapasan, jalan-jalan, dan tidur.
Sebagai penutup, Atika menegaskan bahwa setiap individu tidak memiliki kontrol akan hadirnya pertanyaan personal saat silaturahmi keluarga, tetapi memiliki kontrol dalam memberi jawaban.
"Tidak semua pertanyaan harus kita jawab, kita perlu melihat juga siapa yang bertanya. Kita bisa menjawab dengan senyum atau dengan kata 'oke', yang maksudnya menjawab dengan jawaban yang sifatnya permukaan juga untuk orang yang tidak terlalu kita kenal," tutupnya. (*)
Reporter: Amanah | Editor : Lutfiyu Handi