Pemkot Surabaya Klaim Bebas Kemiskinan Ekstrem, DPRD Soroti Data dengan Kondisi di Lapangan

SURABAYA (Lentera) – Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya mengklaim bahwa angka kemiskinan ekstrem di kota Pahlawan sudah mencapai 0 persen, namun pihak DPRD setempat menilai
Berdasaekan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Surabaya memang terus menurun dalam 10 tahun terakhir. Pada 2015 tercatat ada sekitar 165.720 warga miskin, angka ini turun menjadi 116.620 jiwa pada 2024. Secara persentase, kemiskinan di Surabaya turun dari 5,82 persen pada 2015 menjadi 3,96 persen pada 2024.
Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Surabaya, Anna Fajrihatin mengungkapkan capaian ini tak lepas dari berbagai program bantuan dan intervensi, yang dilakukan oleh pemkot. Namun, ia mengingatkan masih ada tantangan besar dalam hal pendataan yang akurat dan merata.
Anna mengatakan data kemiskinan yang digunakan selama ini, merupakan hasil penyelarasan data pusat daripada hasil survei langsung pemerintah daerah.
“Sekarang memang nol, sesuai target nasional menuju 0 persen kemiskinan ekstrem. Tapi masalah utamanya ada di data, pemerintah daerah berharap data dari pusat bisa sinkron. Tapi sekarang ini, program-program berbeda masih pakai database yang beda-beda," ungkapnya, Kamis (10/4/2025).
Untuk itu, ia berharap ada sistem data tunggal nasional seperti Data Terpadu Semesta Nasional (DTSN) bisa segera diterapkan, agar semua program bantuan menggunakan data yang sama.
Anna juga menegaskan bahwa pemerintah daerah tidak bisa sembarangan mengubah data, bahkan jika ada warga yang sudah meninggal atau pindah pemkot tetap harus menunggu proses dari pusat.
"Data yang sudah disinkronkan di tingkat pusat kemudian dikirim kembali ke daerah, untuk diverifikasi ulang oleh pendamping dari Kementerian Sosial. Jadi bukan data baru. Ini hanya diverifikasi ulang di lapangan,” tuturnya.
Terkait indikator kemiskinan ekstrem, Anna mengatakan penilaian tidak hanya berdasarkan rumah berlantai tanah atau tidak punya listrik. Tapi yang dihitung adalah pengeluaran per orang per bulan, dengan batas sekitar Rp 760 ribu.
“Tidak bisa asal menyebut orang miskin, hanya karena rumahnya sederhana. Semua indikator harus dilihat secara menyeluruh,” ucapnya.
Menanggapi hal itu. Anggota Komisi D DPRD Surabaya, Ajeng Wira Wati menilai bahwa di lapangan masih ada warga yang hidup dalam kondisi memprihatinkan.
“Masih banyak warga yang layak menerima bantuan tapi tidak terdata. Proses survei juga kadang tidak menjangkau mereka,” kata Ajeng.
Ketua Fraksi Gerindra ini pun mendorong agar musyawarah kelurahan kembali digalakkan sebagai cara, untuk menyaring data langsung dari warga tingkat RT dan RW. Selain itu, ia juga meminta Dinsos lebih cepat dan tepat dalam melakukan pendataan, agar tidak ada lansia atau anak putus sekolah yang terlewat dari bantuan.
Ia menyebut banyak warga yang hidup dengan penghasilan sangat minim, bahkan mereka yang berpenghasilan di bawah Rp 1,5 juta per bulan masih pantas dikategorikan miskin.
“Kita ingin data ini bukan sekadar angka di atas kertas. Harus bisa jadi dasar kebijakan yang menyentuh langsung kehidupan warga,” tutupnya.
Reporter: Amanah/Editor: Ais