
SURABAYA (Lentera) – Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) menggelar diskusi bersama berbagai pihak untuk mengawal kasus kekerasan yang menimpa seorang jurnalis perempuan berinisial YNQ di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Ketua Umum FJPI, Khairiah Lubis, mengatakan diskusi ini digelar sebagai upaya memperjuangkan keadilan bagi korban sekaligus mendorong pengusutan ulang kasus tersebut. "Kita sebagai jurnalis tidak boleh membiarkan kekerasan terhadap jurnalis terus terjadi. Semoga keadilan bagi korban dapat ditegakkan," ujar Khairiah saat membuka diskusi secara daring, Jumat (18/4/2025).
Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, jurnalis berhak mendapatkan perlindungan hukum dalam menjalankan profesinya. Pasal 4 ayat (2) dan (3) juga menegaskan bahwa pers memiliki hak untuk mengakses, mengolah, dan menyampaikan informasi tanpa intervensi serta wajib dilindungi dari segala bentuk pembatasan.
Dalam kasus ini, YNQ, jurnalis Inside Lombok mengalami kekerasan saat melakukan peliputan dan konfirmasi terkait banjir yang melanda komplek perumahan milik PT MA di Kecamatan Labuapi, Lombok, pada 11 Februari 2025. Ia bersama sejumlah jurnalis lain datang untuk meminta klarifikasi dari pihak pengembang.
Namun, saat proses wawancara, pihak PT MA memprotes unggahan media sosial Inside Lombok kepada korban. YNQ kemudian mendapatkan perlakuan intimidatif dan persekusi.
Kredibilitas pribadinya dipertanyakan, hingga akhirnya ia keluar ruangan dan menangis karena tekanan yang dirasakan. Seorang oknum dari pihak pengembang berinisial AG bahkan diduga melakukan tindak kekerasan fisik dengan menarik tangan dan meremas wajah korban.
Kasus tersebut dilaporkan ke Polresta Mataram, namun penyelidikan dihentikan karena dinilai belum memenuhi unsur pidana dalam Pasal 335 KUHP tentang kekerasan atau ancaman kekerasan.
Sementara itu, Kuasa hukum korban, Yan Mangandar, menjelaskan pihaknya sejak awal berniat menggunakan UU Pers untuk pelaporan, namun penyidik mengarahkan agar kasus ditangani menggunakan KUHP. Ia juga menyoroti bahwa saksi dan ahli yang dihadirkan ditentukan sepihak oleh kepolisian.
Padahal, menurutnya, tindakan pelaku telah melanggar Pasal 18 ayat (1) UU Pers yang menyebutkan bahwa tindakan yang menghambat atau menghalangi kerja pers dapat dipidana hingga dua tahun penjara atau denda maksimal Rp500 juta.
"Akibat kekerasan yang dialami, korban mengalami trauma berat. Laporan dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram menyatakan korban mengalami tekanan psikologis serius. Terlebih lagi, saat kejadian, korban tengah dalam kondisi hamil. Trauma tersebut berdampak langsung pada produktivitas dan kondisi mentalnya sebagai jurnalis," tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis Indonesia, Erick Tanjung, menilai proses penanganan kasus ini sangat janggal. "Korban mengalami kekerasan saat melaksanakan tugas jurnalistik, namun kasusnya dihentikan begitu saja. Ini menambah daftar panjang kasus kekerasan terhadap jurnalis yang tak dituntaskan," ungkap Erick.
Sementara itu, AKBP Endang Sri Lestari dari Polda Metro Jaya, mewakili Kasubdit 1 Dittipid PPA Bareskrim Polri, menyampaikan penghentian penyelidikan dilakukan karena belum ditemukan adanya tindak pidana. Namun, ia menambahkan bahwa pihak korban masih memiliki opsi mengajukan permohonan gelar perkara khusus.
"Permohonan gelar perkara khusus bisa diajukan. Bila ditemukan fakta baru, maka kasus bisa dibuka kembali. Selain itu, kuasa hukum juga dapat membuat laporan baru berdasarkan UU Pers, agar kasus ditangani oleh Direktorat Kriminal Khusus Polda NTB," tutupnya.
Diketahui, berdasarkan data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menunjukkan sepanjang 2023 terdapat 89 kasus kekerasan terhadap jurnalis, termasuk kekerasan fisik, verbal, dan seksual terhadap jurnalis perempuan. Sementara pada 2024, tercatat 73 kasus. (*)
Reporter: Amanah
Editor : Lutfiyu Handi