
JAKARTA (Lentera) -Nama Soeharto kembali diusulkan sebagai calon Pahlawan Nasional 2025 oleh Kementerian Sosial (Kemensos) bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) pada Maret 2025.
Menteri Sosial Saifullah Yusuf atau yang kerap disapa Gus Ipul mengatakan, pengusulan tersebut dilakukan secara berjenjang, mulai dari tingkat daerah hingga ke pemerintah pusat.
“Jadi memenuhi syarat melalui mekanisme. Ada tanda tangan Bupati, Gubernur, itu baru ke kita. Jadi memang prosesnya dari bawah,” ucapnya, dikutip dari laman Kemensos.
Selain Soeharto, ada sembilan nama lainnya yang juga diusulkan dalam daftar calon Pahlawan Nasional. Mereka adalah K.H. Abdurrahman Wahid (Jawa Timur), Sansuri (Jawa Timur), Idrus bin Salim Al-Jufri (Sulawesi Tengah), Teuku Abdul Hamid Azwar (Aceh), dan K.H. Abbas Abdul Jamil (Jawa Barat).
Lalu empat nama baru yang diusulkan tahun ini adalah Anak Agung Gede Anom Mudita (Bali), Deman Tende (Sulawesi Barat), Prof. Dr. Midian Sirait (Sumatera Utara), dan K.H. Yusuf Hasim (Jawa Timur).
Sayangnya usulan nama Soeharto menjadi calon Pahlawan Nasional tahun ini menimbulkan pro dan kontra.
Presiden ke-2 Indonesia dianggap memiliki beberapa kebijakan kontroversial selama memimpin negara sepanjang 30 tahun.
Lantas, apakah Soeharto memenuhi syarat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia? Baca juga: Daftar 10 Tokoh yang Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Ada Gus Dur dan Soeharto
Respons Sejarawan soal Soeharto diusulkan jadi Pahlawan Nasional
Sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta Agus Suwignyo menyampaikan, Soeharto memang memenuhi kriteria dan persyaratan untuk ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Hal itu sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 15 Tahun 2012 tentang Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional.
Merujuk aturan tersebut, tokoh yang diajukan menjadi Pahlawan Nasional harus memenuhi persyaratan umum dan khusus, seperti berkontribusi secara nyata sebagai pemimpin atau pejuang, serta tidak pernah mengkhianati bangsa.
"Soeharto diakui memiliki peran besar ketika memperjuangkan kemerdekaan. Sepanjang meniti karier militer, Soeharto pernah bergabung dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 yang berhasil merebut Kota Yogyakarta dari cengkraman kolonial," kata dia, dikutip dari laman UGM.
Agus menambahkan, Soeharto juga turut berperan dalam operasi pembebasan Irian Barat pada 1962 saat masih menjadi Panglima Komando Mandala.
Peran penting Soeharto di bidang militer membuktikan bahwa dirinya memiliki pengaruh kuat dalam kemerdekaan Indonesia.
Meski demikian, Agus meminta pemerintah untuk tidak mengabaikan fakta sejarah dan kontroversi Soeharto, terutama pada peristiwa 1965.
Sejarah kelam Soeharto
Agus mengakui, kontribusi Soeharto pada kemerdekaan Indonesia memang tidak bermasalah.
Namun, penetapan Presiden ke-2 Indonesia sebagai Pahlawan Nasional itu sangat mungkin akan memunculkan kritik mengenai seseorang yang pernah menjadi pemimpin dalam kejahatan HAM dan represi kebebasan pers diberi gelar pahlawan.
“Cara pandang sejarah terhadap Soeharto ini tidak bisa hitam putih. Sebagai pahlawan nasional, tidak bisa mengabaikan fakta sejarah. Tapi tidak bisa juga mengabaikan kontribusinya dalam kemerdekaan,” kata Agus, mengutip Kompas.
Bagi Agus, bukan tidak mungkin seorang tokoh pergerakan juga memiliki catatan kelam semasa hidup yang berdampak hingga saat ini. Oleh sebab itu, dia menyarankan agar diberikan pengkhususan atau kategorisasi apabila nama Soeharto tetap diberikan gelar Pahlawan Nasional.
“Penulisan sejarah itu harus memperhatikan konteks, ya. Jadi semisal ada kategori pahlawan nasional dalam bidang tertentu, sehingga bisa diberikan gelar namun dalam konteks dan catatan,” jelasnya.
Menurut dia, penulisan dan pengakuan sejarah perlu memperhatikan sudut pandang dan konteks karena kedua hal tersebut bisa memengaruhi penilaian publik saat ini dan kedepannya terhadap sejarah nasional Indonesia.
Dengan diberikannya pengkhususan atau kategorisasi, pengakuan terhadap kontribusi dapat dilakukan tanpa mengabaikan fakta sejarah lainnya.
Cara tersebut, menurut Agus, tidak hanya berlaku bagi Soeharto, tetapi juga Syafruddin Prawiranegara, salah satu tokoh yang dianggap ekstrim ketika menentang sentralisasi kekuasaan di awal kemerdekaan.
Syafruddin berperan penting dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 1958 sehingga membuatnya dicap sebagai pengkhianat. Padahal, Agus berkata, Syafruddin merupakan tokoh penting ketika pemerintah darurat dibentuk.
“Selain itu, kita belum (memberikan pengakuan) pada berbagai tokoh-tokoh di bidang seni, teknologi, dan pengetahuan. Saya kira perlu ada kajian mengenai pahlawan nasional di luar latar belakang militer," ungkapnya (*)
Editor: Arifin BH