21 April 2025

Get In Touch

Cerita Diego Yanuar, Taklukkan Marathon 250 Km di Gurun Sahara Pakai Sandal

Potret Diego Yanuar, pelari asal Indonesia yang berhasil taklukkan marathon 250 kilometer di Gurun Sahara pakai sendal (Instagram @diegoyanuar)
Potret Diego Yanuar, pelari asal Indonesia yang berhasil taklukkan marathon 250 kilometer di Gurun Sahara pakai sendal (Instagram @diegoyanuar)

MAROKO (Lentera) -Diego Yanuar, pelari asal Indonesia, berhasil menaklukkan Marathon des Sables sejauh 250 kilometer di Gurun Sahara, Maroko, dengan beralas kaki sepasang sendal.

Bagi Diego, lari bukan hanya sekadar menantang diri, tetapi juga menjadi jalan untuk meditasi, mencoba merasakan apa yang dulu dirasakan nenek moyang dari masa ke masa saat manusia berevolusi.

"Aku ingin merasakan apa yang ada di tanah, dan apa yang aku hirup. Misalnya panas, ya aku juga ingin kepanasan, misalnya sakit, aku juga ingin kesakitan, sama seperti yang dirasakan oleh nenek moyang waktu berevolusi," kata Diego.

Diego bercerita, jauh sebelum menaklukkan ajang lari tersebut, ia merupakan seorang pelari yang sudah menyelesaikan ratusan kilometer lintasan.

Sebelum Marathon des Sables, ia juga menyelesaikan BTS100 Ultra, yaitu marathon di wilayah Bromo Tengger Semeru.

Berangkat dari obrolan sesama teman, Diego kemudian mencoba tantangan baru yakni menyelesaikan Marathon des Sables hingga ke garis finish. Baca juga: Demi Olahraga, Ribuan Pelari Ikuti Marathon di Yogyakarta

"Aku tahu Marathon des Sables sejak dari kecil, dulu suka nontonin National Geographic, tapi itu di luar imajinasi anak umur 13-14 tahun saat itu, jadi aku tidak pernah mendalaminya," katanya.

Namun, setelah menargetkan Marathon des Sables, Diego kemudian mulai melakukan riset, dan dirinya yakin bahwa marathon kali ini bisa ia taklukkan. 

Dari persiapan fisik hingga logistik

Kata Diego, ada banyak hal yang perlu dipersiapkan sebelum dirinya berangkat Marathon des Sables, mulai dari persiapan fisik, medis, hingga logistik.

"Ada persyaratan kayak harus bawa 2.000 kalori per hari untuk makan, kalau tidak ada, kena penalty. Kalau tidak bawa surat medis dari dokter, seperti foto detak jantung, tidak boleh ikutan," jelasnya.

Setiap makanan yang dibawa, sambungnya, harus dihitung jumlah kalorinya, baik itu untuk makan siang, camilan, ataupun makan malam.

"Jadi pas hari pertama di Sahara itu dicek, ini kalorinya berapa? Buat hari apa? Dan memang penting karena dari segi aktivitas sendiri kan membutuhkan energi yang banyak," ujar Diego.

Sementara itu, untuk persiapan minuman, katanya, saat tiba di lokasi setiap peserta akan diberi lima liter air. Setiap peserta dapat melakukan pengisian ulang air saat sampai di checkpoint.

Diego mengatakan, pada awalnya dirinya berangkat menggendong ransel seberat 13 kilogram dengan persiapan kalori 3.500 per hari.

Namun, setelah sampai di Gurun Sahara dan bertemu dengan rekan satu kelompok dengannya, Diego kemudian kembali memilah barang bawaan dan berhasil mengurangi dua kilogram beban.

"Begitu sampai di Sahara, pada hari pertama aku berbincang dengan orang yang ada di tenda, mereka memberikan saran dan ide mengenai barang apa saja yang perlu dibawa dan barang apa saja yang tidak perlu dibawa," tuturnya.  

Beberapa barang miliknya yang akhirnya tidak dibawa, seperti kompor, tisu, dan bekal untuk makan siang.

Pada Marathon des Sables ini, katanya, setiap peserta marathon akan dibagi menjadi beberapa kelompok dengan jumlah anggota setiap kelompok sekitar delapan orang.

Setiap kelompok nantinya akan diberi satu tenda berber, tenda terbuka yang biasa digunakan oleh penduduk suku sahara. 

"Aku satu tenda juga dengan pelari dari Indonesia yang ikut, namanya Irjen Jayadi," ujar Diego.

Selain persiapan logistik, persiapan fisik juga merupakan hal yang penting. Katanya, persiapan yang ia lakukan tidak hanya persiapan untuk marathon, tetapi juga dimulai dengan aktivitas-aktivitas kecil yang ia lakukan setiap harinya.

"Karena aku baru menyelesaikan BTS 170 kilometer, jadi persiapan fisik yang sebelumnya disiapkan untuk BTS, masih ada endurance-nya. Jadi aku jaga dengan keseharianku yang lumayan aktif," katanya.

Adapun rutinitas yang mendukung persiapan marathon-nya, seperti bersepeda ke kantor dengan menempuh jarak 20 sampai 22 kilometer. Ia juga berjalan kaki ketika berbelanja, menemani anak main sepeda, ataupun jalan kaki di taman.

"Jadi aku lebih mementingkan gaya hidup yang aktif, dibanding harus terpaku pada program latihan," katanya.  Namun demikian, Diego tetap menjaga energinya dengan ikut short run, long run, hingga angkat beban untuk persiapan membawa logistik.

Alasan lari marathon pakai sandal

Diego menyampaikan, ia pertama kali menapaki lintasan lari memakai sandal pada tahun 2016. Namun, aktivitas ini juga sudah ia lakukan saat ia mengayuh sepeda dari Belanda ke Indonesia.

Keputusannya beralih ke sandal ini bermula setelah dirinya mengalami cedera di bagian kaki ketika memakai sepatu. 

"Aku cedera, mulai dari situ aku mulai membaca artikel tentang lari, tentang pergerakan, tentang natural movement. Akhirnya aku memutuskan untuk memilih natural running, natural running yang membawa aku ke bagaimana cara manusia bergerak sesuai evolusi," ujarnya, sebagaimana dikutip Kompas.

Dikagumi pelari lain karena pakai sandal

Sebagai satu-satunya pelari di Gurun Sahara yang memakai sandal, Diego mengatakaan dirinya bak seorang bintang ketika bertemu dengan para pelari lainnya pada hari pertama.

"Aku seperti superstar di sana, kecuali buat panitianya karena mungkin agak takut kalau aku akan kenapa-kenapa, mereka menyarankan untuk pakai sepatu. Tapi aku tahu apa yang aku bisa, aku punya pengalaman sendiri, jadi aku tau batasku," katanya.

Ketika Diego bertemu dengan peserta ataupun para relawan di lokasi, mereka kagum dan suka dengan keputusan Diego berlari menggunakan sandal.

Bahkan, katanya, salah seorang peserta asal Spanyol menjulukinya "Si Kambing" karena Diego berlari tampak lebih ringan.

Meski tampak ringan saat berlari, ada beberapa tantangan yang ia hadapi ketika berlari memakai sendal di Gurun Sahara. Salah satunya menghadapi tanaman berduri. 

"Aku mengira cuma ada pasir dan batu, aku lupa ada tanaman gurun yang bunganya juga berduri. Jadi saat yang lain lewat seperti biasa, aku sendiri yang merasa kesakitan karena tidak pakai sepatu," katanya.

Diego mengatakan, salah satu musuh para pelari yaitu kaki yang melepuh karena gesekan kulit dan sepatu. Katanya, banyak pelari yang tidak bisa melanjutkan lari karena kaki yang melepuh.

Namun, beruntungnya sebagai pelari yang memakai sandal, Yanuar bisa menyelesaikan marathon hingga ke garis finish dalam kondisi kaki dan badan yang aman. 

Diego menuturkan dirinya sempat terpikir kemungkinan sandalnya putus atau rusak selama berlari di atas pasir.

"Pasir di gurun itu benar-benar empuk, setiap kali kaki menapak ke pasir, kalau kaki diangkat harus mengangkat pakai tali sandalnya. Jadi tali sendal lumayan berfungsi," katanya.

Sampai garis Finish dengan aman

Meskipun mengalami kendala saat berlari, Diego berhasil membawa kaki beralas sandalnya sampai di garis finish dalam kondisi aman.

"Tidak ada kendala, kalaupun ada kendala itupun minor, seperti tas yang aku perbaiki," katanya.

Marathon 250 kilometer di Gurun Sahara tersebut berhasil ia taklukkan dalam kurun waktu 40 jam 40 menit.

"Ketika aku terjun ke barefoot running, ada rasa yang pernah ada, terus hilang, namun kembali dirasakan. Seperti ancient feeling gitu, aneh sekali," tuturnya.

Namun demikian, marathon memakai sendal bagi Yanuar juga turut melibatkan emosi.

Bahkan, dirinya yang sebelumnya berencana mengabadikan momen sambil berlari pun, berujung menyimpan kamera dan memutuskan untuk merasakan setiap momen dan langkah menuju garis finish.

"Ingin merasakan momennya, jadi lebih banyak kameranya di tas. Aku lebih ingin merasakannya, aku ingin lari saja, ada beberapa saat yang sangat emosional," pungkasnya (*)

Editor: Arifin BH

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.