Strategi Menuju Indonesia Emas 2045, Pakar Ekonom UB: Dongkrak Ekonomi Jatim Lewat Pariwisata

MALANG (Lentera) - Untuk menyongsong Indonesia Emas 2045, sektor pariwisata dinilai memiliki potensi besar sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur. Hal ini disampaikan oleh Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya, Prof. Dwi Budi Santoso, S.E., M.S., Ph.D., Sabtu (26/4/2025).
Menurut Prof. Dwi, selama satu dekade terakhir, capaian pertumbuhan ekonomi tertinggi Jawa Timur hanya menyentuh angka 6,6 persen dan belum pernah menembus 8 persen. Oleh sebab itu, dibutuhkan strategi yang mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Salah satunya adalah dengan menjadikan sektor pariwisata sebagai motor utama.
"Tantangan menuju Indonesia Emas 2045 sangatlah besar, apalagi adanya tantangan global," ujar Dwi.
Dwi menuturkan, dampak sektor pariwisata tidak hanya pada penciptaan lapangan kerja. Tetapi juga terhadap peningkatan keterampilan tenaga kerja, pemanfaatan sumber daya lokal, dan peningkatan investasi.
Ia menjabarkan, jika komponen-komponen pariwisata seperti hotel, transportasi, dan kuliner terus berkembang, maka permintaan tenaga kerja pun akan ikut meningkat. Namun demikian, penguatan sektor pariwisata tetap membutuhkan intervensi kebijakan yang tepat agar berdampak jangka panjang.
Kendati demikian, jika mengacu pada teori pertumbuhan ekonomi Solow, Dwi menjelaskan pertumbuhan ekonomi tidak selalu linear. Ada fase kontraksi dan ekspansi, serta titik keseimbangan ekonomi daerah yang disebut steady state.
Dwi menekankan, untuk menciptakan pertumbuhan yang lebih tinggi, pemerintah harus menciptakan steady state baru yang lebih produktif. "Misalnya ketika biaya investasi ditekan dan efisiensinya meningkat, maka batas atas pertumbuhan ekonomi juga akan terdorong lebih jauh," tambahnya.
Ia juga menyoroti ketimpangan antar wilayah di Jawa Timur. Dari 38 kabupaten/kota yang ada, menurutnya tidak semua wilayah memiliki kemampuan ekonomi yang setara. Akibatnya, terjadi pembentukan kelompok ekonomi atau convergence club dengan pusat-pusat pertumbuhan yang berbeda.
"Misalnya, Surabaya jelas berbeda dengan wilayah miskin di pesisir selatan. Ini harus menjadi perhatian," imbuhnya.
Untuk mengatasi ketimpangan ini, Dwi menyarankan pengembangan pariwisata dilakukan secara kontekstual sesuai karakteristik wilayah. Sebagai contoh, disebutkannya, Kota Batu yang telah memiliki infrastruktur pariwisata, sebaiknya berfokus pada inovasi daya tarik dan peningkatan layanan ketimbang membangun dari nol.
Mengakhiri pernyataannya, Dwi menyebutkan ada beberapa indikator penting untuk mengukur kinerja sektor pariwisata. Di antaranya kontribusi sektor akomodasi, transportasi, serta makanan-minuman terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dan jumlah kunjungan wisatawan.
"Dari indikator tersebut, kita bisa lihat daya saing pariwisata suatu daerah. Kalau jumlah wisatawan terus meningkat, itu artinya sektor ini memang potensial untuk terus dikembangkan," pungkasnya. (*)
Reporter: Santi Wahyu
Editor : Lutfiyu Handi