30 April 2025

Get In Touch

Warga Tolak Rencana Pembangunan Hotel dan Apartemen, Pemkot Malang Jamin Proses Perizinan Sesuai Aturan

Kepala Disnaker-PMPTSP Kota Malang, Arif Tri Sastyawan. (Santi/Lentera)
Kepala Disnaker-PMPTSP Kota Malang, Arif Tri Sastyawan. (Santi/Lentera)

MALANG (Lentera) - Rencana pembangunan hotel dan apartemen di kawasan Blimbing, Kota Malang, mendapat penolakan keras dari warga setempat.  Menanggapi hal ini, Pemerintah Kota (Pemkot) Malang melalui Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Penanaman Modal, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (Disnaker-PMPTSP) Kota Malang, Arif Tri Sastyawan, menjamin proses perizinan untuk pembangunan proyek tersebut akan dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Arif membenarkan, salah satu investor telah mengajukan perizinan untuk pendirian hotel dan apartemen. Namun, menurutnya sampai saat ini rencana pembangunan tersebut masih dalam tahap awal, yaitu pada proses perizinan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR). 

"Nanti setelah KKPR nya keluar, dari pelaku usaha wajib berproses ke analisis dampak lingkungan (Amdal). Kalau itu selesai, baru nanti persetujuan ke Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP)," ujar Arif, Senin (28/4/2025). 

Untuk diketahui, proyek yang direncanakan oleh PT Tanrise Property Indonesia, ini diperkirakan akan mencakup dua tower hotel dan satu tower apartemen dengan ketinggian mencapai 197 meter. 

Namun Arif menjelaskan, proses perizinan untuk pembangunan semacam ini harus melibatkan serangkaian tahap yang ketat. Terutama terkait dampak lingkungan dan keselamatan penerbangan. "Jadi ketinggian bangunan akan disesuaikan dengan rekomendasi dari pihak Angkatan Udara,” jelasnya.

Ditegaskannya, meskipun dalam Peraturan Daerah (Perda) Tata Ruang Kota Malang terdapat batasan ketinggian bangunan hingga 150 meter. Menurutnya hasil rekomendasi dari KKOP yang harus diikuti. "Kalau nanti KKOP merekomendasikan ketinggian bangunan di bawah 150 meter, maka itulah yang harus dipatuhi," katanya.

Terkait dengan penolakan dari warga, Arif menyampaikan, proses perizinan tetap harus melibatkan masyarakat sekitar melalui sidang analisis dampak lingkungan (Amdal) dan Analisis dampak lalu lintas (Andalalin). 

Sidang ini bertujuan untuk mendengar aspirasi warga yang terdampak, seperti kekhawatiran tentang dampak lingkungan atau kerusakan fisik akibat pembangunan. "Sidang Amdal itu bisa dilakukan berkali-kali. Jika di sidang pertama tidak ada kesepakatan, maka proses bisa dilanjutkan untuk mencapai titik temu," katanya.

Arif juga menegaskan, semua persyaratan perizinan yang diwajibkan, termasuk Sertifikat Layak Fungsi (SLF), harus dipenuhi oleh pihak pengembang. "Setelah Amdal dan Andalalin selesai, kami masih mewajibkan pengembang untuk mengurus Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Semua syarat yang disyaratkan untuk pembangunan usaha harus dipenuhi, termasuk memastikan dampak yang ditimbulkan dapat diminimalisir," jelasnya.

Sementara itu, warga setempat, yang tergabung dalam kelompok Warga Peduli Lingkungan (Warpel), mengkhawatirkan dampak negatif dari proyek tersebut. Juru bicara Warpel, Centya W.M., mengungkapkan kekhawatirannya tentang potensi tanah ambles dan kerusakan pada rumah warga. Seperti yang terjadi pada pembangunan salah satu hotel di Surabaya. 

Selain itu, warga juga menyayangkan kurangnya komunikasi antara pihak pengembang dengan masyarakat. "Pola yang dilakukan PT Tanrise Property Indonesia terkesan mengarah pada penggiringan agar warga mudah dipengaruhi untuk mendukung proses perizinan," ujar Centya. 

Ia menambahkan, kawasan tersebut merupakan wilayah padat penduduk dan banyak lembaga pendidikan, yang tentunya memerlukan perhatian ekstra dalam perencanaan pembangunan. Pihaknya juga mengaku telah berkirim surat kepada Wali Kota Malang untuk dapat mencari solusi dan jawaban atas hal ini. (*)

Reporter: Santi Wahyu
Editor : Lutfiyu Handi

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.