06 May 2025

Get In Touch

Kekhawatiran Wong, Keseimbangan Baru Tatanan Ekonomi Dunia

Hadi Prasetya, pengamat sosial - ekonomi
Hadi Prasetya, pengamat sosial - ekonomi

KOLOM (Lentera) -Pidato Perdana Menteri Singapura Lawrence Wong menanggapi perang tarif Trump pada awal April 2025 tidak saja cukup mengejutkan rakyat Singapura tetapi juga para pengamat, karena baru kali ini pidato PM Wong berisi ucapan terima kasih kepada AS sekaligus kritik keras kepada AS. Bila dicermati lebih dalam pidato PM Wong berisi kekecewaan dan kecemasan tentang masa depan dunia dipandang dari sisi kepentingan Singapura.

PM Wong menilai bahwa tatanan ekonomi dunia baru yang akan melewati masa turbulensi panjang, sekaligus ancaman perang dunia ketiga bisa terjadi karena AS menarik diri sebagai ‘polisi dunia’ yang selama ini dianggap menjaga stabilitas dunia. Stabilitas selama dekade 60an hingga saat ini selama 60 tahun (sebelum puncak perang tarif) telah membawa Singapore maju pesat sejak kemerdekaannya tahun 1965.

Pesan yang disampaikan kepada rakyat negeri Singapura oleh PM Wong sangat tegas dan jelas, kita harus bersiap diri dengan segala kemampuan untuk tetap eksis dan survive menghadapi perang dunia (secara ekonomi, dan juga secara fisik).

Pidato ini mengingatkan kembali pada pidato Lee Kuan Yew ketika memulai reformasi dan revolusi pembangunan Singapore tahun 60an, dikatakan bahwa common enemy Singapura sebagai negara yang ‘kecil’ dengan sumberdaya alam yang minim, adalah harus bisa bersaing dan melebihi negara tetangga Indonesia dan Malaysia yang besar/luas dengan sumberdaya alam yang cukup berlimpah.

Maka investasi bidang SDM unggul , infrastruktur yang modern menjadi tantangan untuk tekad bulat rakyat Singapura bila ingin tetap eksis dan tidak terhapus dari peta dunia. Dan nyatanya Singapura menjadi negara maju dan menjadi hub perekonomian dunia yang luar biasa.

Beberapa poin penting pidato Lawrence Wong:

  • Keruntuhan Amerika sebagai ‘polisi dunia’, kini menunjukkan tanda-tanda kelemahan dan tidak lagi mampu menjaga stabilitas global.
  • Wong mengakui bahwa Tiongkok telah bangkit sebagai kekuatan ekonomi besar, namun belum siap menggantikan peran Amerika sebagai penjaga stabilitas global.
  • Menjadi ‘polisi dunia’ itu perlu biaya ekstra besar disatu sisi, dan disisi lain terancam oleh peningkatan tuntutan kesejahteraan sosial rakyat sendiri. AS saat ini sedang menghadapi permasalahan anggaran dan ekonomi nasional yang  ‘agak genting’. Pengalaman AS ini memberikan trauma bagi negara-negara besar untuk mau menjadi ‘polisi dunia’ .
  • Wong khawatir bahwa kevakuman global akibat mundurnya Amerika dapat memicu ketegangan dan konflik baru di dunia. Berbagai negara dunia meningkatkan anggaran pertahanan militernya.
  • Wong menekankan bahwa negara-negara kecil seperti Singapura harus siap menghadapi tantangan baru dan menentukan nasib sendiri dalam dunia yang semakin tidak stabil.

 
Pidato Lawrence Wong menawarkan perspektif yang menarik tentang perubahan tatanan ekonomi dunia dan ancaman perang dunia ketiga.

Namun, benarkah bisa sejauh itu?

Mengacu pada beberapa catatan  Keohane & Nye (1977) dalam bukunya Power and Interdependence (kompleksitas interdependensi) ada beberapa hal yang bisa dipikirkan sebagai ‘second opinion’:

  1. Kompleksitas hubungan global. Dunia saat ini dihadapkan pada hubungan global yang semakin kompleks, dengan banyak aktor yang berperan dalam menjaga stabilitas global. Peran Amerika mungkin berkurang, tapi masih ada aktor lain yang diharapkan dapat membantu menjaga stabilitas.
  2. Meskipun Tiongkok belum siap menggantikan peran Amerika, negara ini akan terus meningkatkan pengaruhnya di dunia. Memang masih perlu dilihat bagaimana Tiongkok akan menggunakan kekuatannya untuk menjaga stabilitas global.
  3. Negara-negara kecil seperti Singapura dan negara sedang berkembang seperti Indonesia, Malaysia, memang perlu siap menghadapi tantangan baru, tapi mereka juga dapat memanfaatkan peluang yang ada untuk meningkatkan kekuatan dan pengaruhnya.

Menghadapi dunia yang semakin tidak stabil, negara-negara kecil dan sedang berkembang perlu memiliki strategi yang tepat untuk menjaga stabilitas dan meningkatkan kekuatan. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah:

Pertama, meningkatkan kerjasama regional untuk bersama  menghadapi tantangan bersama dan meningkatkan kekuatan. Kedua, mengembangkan ekonomi yang kuat dan beragam untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan. Ketiga, meningkatkan kapasitas pertahanan untuk menjaga keamanan dan stabilitas.

Apakah proteksionisme dan perang tarif bisa memicu perang dunia?

Berdasarkan perspektif historis misal Pra-Perang Dunia II, kebijakan proteksionisme seperti Smoot-Hawley Tariff Act (1930) di AS memperburuk Depresi Besar dan memicu balasan dari negara lain, memperdalam ketegangan ekonomi yang berkontribusi pada Perang Dunia II. Namun, konflik militer saat itu juga dipicu oleh faktor ideologi, ekspansi teritorial, dan kegagalan diplomasi.

Mungkin berbeda dengan kondisi saat ini, dimana  interdependensi ekonomi global (melalui rantai pasok, investasi lintas batas, dan teknologi) membuat negara saling bergantung kuat. Perang total akan merusak kepentingan ekonomi semua pihak, sehingga biaya perang lebih tinggi dibandingkan era sebelumnya.

Teori Hubungan Internasional dalam konteks liberalisme  menekankan bahwa interdependensi ekonomi bisa mengurangi risiko perang (teori “Perdamaian Demokrasi" dan "Perdamaian melalui Ketergantungan Ekonomi"). Joseph Nye dan Robert Keohane, mencatat bahwa kompleksitas interdependensi menciptakan insentif untuk kerja sama, bukan konflik fisik.  AS dan China terlibat dalam perang tarif sejak 2018, tetapi kedua negara tetap menjaga dialog untuk menghindari eskalasi militer.

Dalam konteks realisme  tokoh realis seperti Hans Morgenthau berargumen bahwa negara akan selalu mengejar kekuasaan, tetapi dalam konteks modern, kekuatan ekonomi (bukan militer) menjadi alat utama.  Proteksionisme dipandang sebagai upaya memperkuat posisi domestik, bukan persiapan perang fisik.

Ditinjau dari sudut game theory, “Zero-Sum vs Positive-Sum Game”,  perang fisik adalah zero-sum (satu pihak menang, pihak lain kalah), sedangkan perang tarif bisa diubah menjadi positive-sum melalui negosiasi. 

Berikutnya dalam tinjauan konsep Equilibrium Nash, negara mungkin memilih proteksionisme sebagai strategi defensif, tetapi pada akhirnya akan mencapai titik keseimbangan untuk menghindari kerugian bersama.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, bisa dipahami dan dipelajari mengapa perang fisik (PD III) tidak rasional dan masih terbuka celah harapan untuk menapak tatanan ekonomi dunia baru yang lebih damai dan menguntungkan.

Dalam konsep Mutual Assured Destruction (MAD), perang modern akan menghancurkan rantai pasok, sistem finansial, dan infrastruktur digital yang menjadi tulang punggung ekonomi global.  Berbagai Aktor Non-Negara seperti perusahaan multinasional, LSM, dan masyarakat sipil memiliki kepentingan dalam stabilitas global, sehingga menjadi kekuatan penekan untuk menghindari konflik.  

Disamping itu Norma Anti-Perang  pasca-1945, berupa norma anti-agresi semakin menguat (bisa dilihat pada UN Charter). Sanksi ekonomi dan isolasi diplomatik lebih mungkin digunakan daripada invasi militer.

Dengan demikian perang tarif dan proteksionisme memang berpotensi menciptakan ketegangan, tetapi eskalasi ke perang fisik kecil karena alasan interdependensi ekonomi dan biaya perang yang terlalu tinggi yang bisa jadi boomerang pagi rezim kekuasaan dalam negeri.

Satu contoh menarik hari-hari ini, ketika India konflik dengan Pakistan soal Kashmir, AS dan China bersama-sama turun tangan menengahi konflik militer, karena sama-sama merugikan kepentingan AS dan China.

Analog dengan itu, seandainya AS tidak lagi jadi ‘polisi dunia’ maka segala bentuk terorisme juga akan mendapat perlawanan dari negara besar lainnya guna menjaga stabilitas.

Keseimbangan Tatanan Ekonomi Dunia Baru

Walaupun Trump dengan brutal mendorong faktor proteksionisme  (perang tarif) yang anomali dalam konteks mainstream liberalisme dan globalisasi, tetapi globalisasi tidak mati namun terus beradaptasi.

Tatanan baru akan berbasis multipolaritas, dengan institusi yang lebih inklusif dan mekanisme redistribusi yang lebih adil.  Dan ini menjadi peluang potensial bagi negera kecil dan sedang berkembang seperti negara-negara ASEAN. Keseimbangan baru akan lahir melalui negosiasi, bukan konflik, karena semua pihak memiliki insentif untuk menghindari "zero-sum game".

Pergeseran dari hegemoni AS ke multipolaritas, bisa dikaitkan dengan teori Hegemonic Stability (Charles Kindleberger) yang menyatakan bahwa sistem global stabil jika ada hegemon yang menjamin tatanan ekonomi. Namun, dengan bangkitnya China, Uni Eropa, dan blok regional, sistem bergerak ke arah multipolaritas yang memang memerlukan mekanisme koordinasi baru.

Dalam konteks ini kita bisa memahami, misal pembentukan RCEP (kemitraan ekonomi Asia-Pasifik) dan perluasan BRICS mencerminkan upaya menciptakan arsitektur ekonomi alternatif.

Tatanan ekonomi yang lebih adil bisa dikaitkan dengan Global Justice Theory. Pemikir seperti  Amartya Sen dan Thomas Piketty menekankan perlunya sistem yang mengurangi kesenjangan melalui regulasi pajak global, alih teknologi, dan akses pasar yang setara.

Peran institusi multilateral, melalui  reformasi WTO, penguatan forum seperti G20, atau inisiatif seperti Tax Deal OECD (2021) menunjukkan berbagai negara dunia sedang berupaya kolektif menyeimbangkan kepentingan negara maju dan berkembang.

Proses menuju tatanan ekonomi dunia baru nampaknya akan melalui proses deglobalisasi terkendali. Berbagai negara mungkin mengurangi ketergantungan ekstrem pada globalisasi (misalnya, reshoring industri strategis), tetapi tetap mempertahankan kerja sama di sektor kritis seperti iklim dan kesehatan (misal “Paris Agreement”, COVAX). Dan di era digitalisasi dan ekonomi hijau transformasi ekonomi berbasis teknologi dan energi bersih akan menjadi medan kompetisi baru, yang memerlukan standar global (misalnya, regulasi AI atau karbon border tax).

Catatan singkat tentang kekhawatiran PM Singapura Lawrence Wong dan keseimbangan baru di atas, menjadi catatan penting bagi Pemerintah dan masyarakat RI, yang sikon sosial, ekonomi dan politik nya sedang kurang baik-baik saja, bak meriang kena flu atau DBD.

Economy Outlook oleh World Bank yang baru di rilis awal 2025, mengingatkan cukup keras bawa RI jangan terlalu berbangga menjadi kelompok negara ‘upper middle income”  ketika angka batas kemiskinan yang menjadi acuan US$ 6.85 per hari (rp. 113.025 per hari – 1$= 16.500), dan memberikan besaran angka kemiskinan Indonesia 2024 sebesar 60.3%.

Kalau digunakan angka batas kemiskinan “lower middle income” yang US$ 3,65 per hari (rp. 60 rb),  angka kemiskinan Indonesia masih 15.6%. Tetapi BPS cerdas, menggunakan standart batas angka kemiskinan sendiri sekitar Rp. 592.000 per bulan atau sekitar rp, 20 ribu per hari, sehingga angka kemiskinan Indonesia tercatat hanya sekitar 8%.

Narasi pemerintah ini nampaknya tidak cukup kuat untuk menutupi fakta meningkatnya jumlah pengangguran, iklim bisnis yang tidak kondusif karena performance politik pemerintahan dan premanisme yang sudah ada dan berkembang sejak era Orde Baru, belum lagi berita (mega) korupsi diberbagai sektor kehidupan birokrasi maupun masyarakat, serta noraknya penegakan hukum yang diskriminatif dan sebagainya.

Singapura yang negara kecil, sudah konsolidasi diri menghadapi perubahan tatanan ekonomi global, dan ironisnya di negeri kita masih begitu ruwet, lebay dan tendang-sikut persaingan kekuasaan politik.

Tingkat korupsi bukannya makin menurun, tetapi makin digerojok dugaan skandal-skandal yang begitu lama tersimpan dalam kotak pandora (yang kini mulai bocor dan merebak kemana-mana) menjadi opini negatif  dan dis-trust yang meluas.

Dalam situasi yang begitu memilukan dan meresahkan, warning Connie Rahakundini pakar pertahanan, mengingatkan waspada apa yang akan segera terjadi di Sumatera dan Indonesia Bagian Timur. Dan secara samar mulai terdengar kabar berita separatisme.

Bukan berita sedap, tapi mengerikan ketika dihubungkan dengan defragmentasi ekonomi global regional, yang mungkin dimanfaatkan oleh berbagai pihak oligarkis maupun elite masyarakat yang tidak puas.

Separatisme di Indonesia harus diwaspadai ditengah maraknya kelompok opportunis (dan pengkhianat bangsa?) yang  ingin menjadi reja-presiden negara-negara pecahan. Semoga tidak jadi kasus Timor Timur lagi.

Akhirnya kita sadar bahwa tugas dan posisi pak Presiden Prabowo memang benar-benar berat. Terjepit dari dalam dan luar. Yuk kita bantu pak Presiden Prabowo, jangan dicampur aduk dengan wakilnya dan menteri-menterinya yang kontroversal.

Semoga Indonesia benar-benar bangkit kembali pada 20 Mei 2025.

Penulis: Hadi Prasetya, pengamat sosial - ekonomi|Editor: Arifin BH

Share:

Punya insight tentang peristiwa terkini?

Jadikan tulisan Anda inspirasi untuk yang lain!
Klik disini untuk memulai!

Mulai Menulis
Lentera Today.
Lentera Today.