09 May 2025

Get In Touch

(Bukan) Presiden Boneka

ARSIP: Prabowo bersama Joko Widodo di atas kuda tunggangan menjawab wartawan, di Padepokan Garuda Yaksa, Desa Bojong Koneng, Hambalang, Bogor, Jawa Barat
ARSIP: Prabowo bersama Joko Widodo di atas kuda tunggangan menjawab wartawan, di Padepokan Garuda Yaksa, Desa Bojong Koneng, Hambalang, Bogor, Jawa Barat

KOLOM (Lentera) -Serasa percaya tak percaya, Presiden Prabowo Subianto, menegaskan, dirinya bukan “presiden boneka.” Seolah-olah tidak terima, sering digunjing isu dikendalikan mantan Presiden Jokowi. Walau diakui Presiden Prabowo memang sering berkomunikasi melalui telepon dengan Jokowi. Namun konon, obrolan hanya sebatas konsultasi mengenai pemerintahan. Prabowo menganggap Jokowi seorang pemimpin yang bijak. Patut diminta pendapat, dan saran (karena telah sukses 10 tahun berkuasa).

Pernyataan “Bukan Presiden Boneka,” disampaikan Prabowo Subianto, pada saat Sidang Kabinet Paripurna, di Istana Negara (5 Mei 2025). Sebenarnya tidak mengejutkan. Karena sebelumnya, telah ramai digunjing isu “matahari kembar,” justru oleh kalangan internal koalisi Indonesia Maju. Isu bermula dari banyak Menteri anggota Kabinet Merah Putih, datang ke kediaman Jokowi, di Solo. Terutama mantan Menteri periode Presiden Jokowi. Dan mengaku Jokowi tetap sebagai bos.

Beberapa Gubernur serta Bupati, dan Walikota, juga berkunjung ke rumah Jokowi, di Keluarahan Sumber, kecamatan Banjarsari, Kota Solo. Kunjungan daerah, dan menteri ke Solo, sebenarnya dalam  rangka lebaran hari raya Idul Fitri 1446 H. Namun saat itu, Presiden Prabowo Subianto sedang kunjungan kerja ke Timur Tengah.  Tetapi isu tentang “matahari kembar,” telah dibantah Jokowi. Dinyatakan, “matahari itu hanya satu, yaitu Presiden Prabowo Subianto.”

Kunjungan pejabat ke rumah Jokowi, seharunya dipandang sebagai kebiasaan adat budaya Jawa, khususnya pada saat Lebaran Idul Fitri. Bahkan ribuan rakyat juga antre dalam beberapa untuk mengunjungi kediaman Jokowi, di Solo. Lebih lagi sejak lepas tugas sebagai Presiden, kediaman Jokowi, bagai selalu dalam keadaan “open house,” terbuka untuk semua orang. Pada kalangan grass-root, banyak masyarakat berkunjung ke rumah Jokowi, untuk memperoleh uang saku.

Tetapi sesungguhnya, pergunjingan “Presiden Boneka,” mulai terdengar setelah peringatan HUT partai Gerindra, di Sentul, Bogoro, Jawa Barat. Hadir dalam HUT, Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY, ayah Menko Infrastruktur dan Pembanguna Kwilayahan), serta Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (ayah dari Wakil Presiden Gibran rakabuming Raka). Pada saat menyampaikan pidato Ketua Umum partai Gerindra, Prabowo Subianto, memuji Jokowi. Bahkan dengan segenap energi, dengan kelantangan suara yang bergetar, Presiden Prabowo Subianto, meneriakkan, “Hidup Jokowi !!!” 

Sehingga pernyataan pergunjingan “matahari kembar,” tidak perlu terungkap. Karena pelantikan Prabowo Subianto, sebagai Presiden RI ke-8, telah dikukuhkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 22 April 2024. Walau terdapat tiga hakim yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion), secara mayoritas hakim MK, menjadi amar penetepan Keputusan MK. Yakni, MK menolak seluruh permohonan sengketa Pilpres tahun 2024 dari dua kubu (Paslon nomor urut 1, dan nomor urut 3).

Sehingga seharusnya, tidak terdengar isu “matahari kembar.” Berujung jawaban Presiden Prabowo Subianto sebagai “Bukan Presiden Boneka.” Namun pada era demokrasi, banyak hal bisa menjadi isu hangat, sampai mengancam pemakzulan pimpinan tertinggi negara. Termasuk stigma “Presiden Boneka.” Jika benar, frasa kata “Presiden Boneka” dapat menjadi sarana pemakzulan, seperti diatur dalam UUD pasal 7A, dan pasal 7B ayat (1).

UUD pasal 7A, menyatakan, “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat ... apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapanm, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.” Jenis pelanggaran hukum ini, diulang lagi pada pasal 7B ayat (1).

Terdapat frasa kata “perbuatan tercela,” yang bisa di-nisbat-kan dengan “Presiden Boneka.” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, secara umum bermakna “seorang presiden yang tindakan dan keputusannya dikendalikan oleh kekuatan lain, bukan oleh kehendaknya sendiri. Penguasan boneka, adalah penguasa yang kata-kata, peran, dan sikapnya dikendalikan oleh orang lain.”

Penelusuran pada AI (Artificial Intelegence), tentang “Raja Boneka,” diperoleh jawaban yang sama. “Ya, banyak penguasa kerajaan di Jawa pada masa kolonial Belanda memang menjadi "raja boneka". Hal ini terjadi karena mereka kehilangan kedaulatan dan kekuasaan politik mereka, dengan Belanda yang mendikte kebijakan kerajaan. Penguasa kerajaan hanya sebagai simbol, sementara kekuasaan sebenarnya berada di tangan Belanda. 

Maka benar kewaspadaan Presiden Prabowo Subianto, dengan menyatakan “Bukan Presiden Boneka.” Karena telah memperoleh mandat rakyat melalui Pilpres. Tetapi segenap pejabat tinggi juga perlu mengurangi ke-kerap-an konsultasi, sekaligus tegak dengan kekuatan dedikasi, moral, mental, dan referensi diri sendiri (*)

Penulis: Yunus Supanto, Wartawan Senior dan Wakil Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Surabaya|Editor: Arifin BH

Share:

Punya insight tentang peristiwa terkini?

Jadikan tulisan Anda inspirasi untuk yang lain!
Klik disini untuk memulai!

Mulai Menulis
Lentera Today.
Lentera Today.