
SURABAYA (Lentera) - Anggota Komisi D DPRD Kota Surabaya Johari Mustawan, memberikan beberapa catatan penting kepada KOPRI dan PC PMII Surabaya terkait masalah perlindungan dan pemberdayaan perempuan.
Pria yang akrab disapa Bang Jo ini menuturkan langkah awal yang bisa dilakukan oleh KOPRI dan PC PMII adalah memiliki posisioning terlebih dahulu.
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2024, angka kekerasan terhadap perempuan yang terlapor di Jawa Timur mencapai 1762 korban. Dari data tersebut, Surabaya menjadi daerah yang memiliki angka kekerasan tertinggi dengan 254 korban.
Hal ini terungkap saat rapat dengar pendapat (RDP) terkait pemberdayaan dan perlindungan perempuan di Kota Surabaya, yang digelar Komisi D DPRD Kota Surabaya bersama Kopri, PC PMII Surabaya, dan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana.
"Karena begitu banyaknya permasalahan perlindungan perempuan, maka pada tahap awal KOPRI dan PC PMII menentukan posisioning terlebih dahulu untuk mengerjakan hal yang paling mudah dan mampu dilaksanakan berkoordinasi dengan Dinas DP3APPKB," tuturnya, Jumat (9/5/2025).
Bang Jo juga meminta KOPRI, PC PMII dan Dinas DP3APPKB untuk berkolaborasi dengan tenaga ahli, mulai dari konsultan, psikolog, ahli bidang pendidikan, kesehatan dalam memberikan pendampingan dan perlindungan kepada para perempuan.
"Agar semakin mantap dalam memberikan pendampingan dan perlindungan kepada perempuan, khususnya bagi perempuan yang mengalami kasus-kasus tertentu misal kejahatan dan pelecehan terhadap perempuan," tegasnya.
Selain itu, Bang Jo juga mengingatkan, perlindungan terhadap perempuan dimulai dari mengembalikan perempuan kepada kodratnya.
"Ketika perempuan dijadikan sebuah komoditas maka disitulah awal terjadi kekerasan terhadap perempuan, Yaitu dengan cara mengekploitasi kaum perempuan. Misal menghadirkan perempuan-perempuan sebagai penghibur di tempat-tempat hiburan malam," ucapnya.
Karena kebutuhan ataupun alasan ekonomi sehingga banyak perempuan-perempuan yang bekerja di tempat-tempat hiburan malam. Dan karena alasan perempuan-perempuannya sendiri berkenan atau merasa enjoy untuk melakukan hal tersebut.
"Hal ini yang secara tidak sadar menjadi pintu masuk terjadinya kejahatan dan pelecehan terhadap perempuan," tambahnya.
Menurutnya, permasalahan tersebut menjadi Pekerjaan Rumah (PR) bersama bagaimana bisa mencarikan alternatif pekerjaan lain yang lebih baik bagi kaum perempuan, tanpa adanya eksploitasi terhadap perempuan.
"Misal pekerjaan menjadi guru-guru paud, pendamping ataupun pelaku UMKM," tutupnya. (*)
Reporter: Amanah
Editor : Lutfiyu Handi