11 May 2025

Get In Touch

Good Bye News TV

Ilustrasi Subakti Sidik, Wartawan Senior PWI (Lentera)
Ilustrasi Subakti Sidik, Wartawan Senior PWI (Lentera)

KOLOM (Lentera) -Media-media televisi berita (news tv) konvensional, diprediksi nyaris  "tumbang". Mengikuti "sodara tua" media cetak yang sudah mendahului. 

Keruntuhannya memang belum sampai menggelepar rata tanah. Tapi dampaknya, sudah dirasakan awak media. Di PHK. Dan badai itu tak ada tanda2 mereda. Justru malah cenderung meningkat. 

Banyak yang terheran - heran. Bagaimana mungkin media2 televisi besar. Telah punya nama mentereng. Bisa keterjang "puting beliung" PHK. 
 
Sepintas dilihat, rasasanya tak mungkin hal itu bisa terjadi.  Coba bayangkan, kalau kita nonton tv, apakah itu siaran berita. Atau hiburan. Nunggu kelanjutannya capek. Iklannya tak habis - habis.
   
Mulai dari produk dalam negeri sampai luar negeri. Dari teknologi tepat guna. Sampai teknologi tinggi. Terus sambung -bersambung.
 
Dibandingkan beriklan di media cetak. Beriklan di televisi biayanya berlipat-lipat. 
    
Lalu, mengapa media televisi berita dalam kondisi tidak sedang bai -baik saja ?
    
Agaknya, tudingan diarahkan pada media sosial atau medsos. Ya, setelah muncul : YouTube, Tiktok, Instagram, Facebook, Twitter (X).  Iklan televisi  terus melorot. 
   
Sementara beriklan di medsos tarifnya lebih murah. Kenapa bisa murah?
   
Karena biaya produksi medsos jauh lebih murah dari televisi. 

Produksi medsos

Dari sisi infrastruktur.  Sangat-sangat sederhana. Youtuber, misalnya, hanya butuh:  smartphone, mikrofon, lampu pencahayaan, tripod dan perangkat editing. Kru-nya cukup dua atau tiga orang. Dalam tempo singkat:  Product Ready to public. 
   
Sementara televisi ? Alat-alatnya banyak dan mahal. Prosesnya panjang. Mulai dari lokasi peliputan. Hingga sampai studio siaran. Butuh waktu dan biaya tak sedikit. Apalagi kalo siaran langsung.

Podcast

Sementara itu ada pula Podcast. Yang diproduksi para publik figur. Media ini pun menyita perhatian. Apalagi Podcast yang dipadu dengan YouTube. Audiensnya jauh lebih luas. 
  
Dengan  menampilkan tokoh yang sedang hot dalam perbincangan publik. Dari ruangan sebesar counter/ kios hp. Media ini juga berhasil mengeruk dana  pemasang iklan. 
 
Podcast seperti: Deddy Corbuzier, Refly Harun, Haris Azhar, Hersubeno Arief, dalam sejam - dua jam bisa ditonton ratusan ribu orang. 
    
Bahkan banyak pula yang berlangganan. Audiens merasa senang dan puas  mendapat info2 spesifik, tanpa sensor.
     
Pemasang iklan tak bisa dibohongi. Mereka punya data2 audiens setiap media. Mereka tak salah pilih beriklan di Medsos. 

Belakangan, konon belanja iklan pemerintah cenderung lebih banyak dialokasikan ke medsos atau konten kreator. 
    
Medsos memang banyak dicerca. Banyak menyiarkan hoax. Bikin kacau. Sumber keresahan. Informasinya tak terverifikasi.
 
Ya, ada benarnya. Tapi juga tak sepenuhnya benar. Banyak medsos yang dibuat, justru menampilkan info yang komplit. 
    
Bahkan lebih komplit dari televisi. Atau media online resmi terdaftar di Dewan Pers. Tak jarang pula, pers online hanya mengutip medsos. 

Sering pula TV kalah cepat dalam  menyiarkan berita. Para jurnalis media  online sering pula membuat berita, setelah baca medsos. 

Mereka hanya perlu nelpon teman untuk melengkapi informasi yang dipandang perlu. Medsos yang "baik" menyajikan info yang benar-benar faktual apa adanya. 
  
Cuma memang kadang kebablasan. Maklum mereka memang tak mengenal kode etik jurnalistik (KEJ). Ironisnya, pola demikian, agaknya cenderung lebih disukai audiens. Kenapa? Sebab, info yang disajikan media resmi, kadang justru diragukan kebenarannya  
 
Info dicurigai telah "direkayasa" atas saran atau arahan institusi yang dimintai konfirmasi. Hal ini menjadi warning bagi media mainstream. Hendaknya tetap mengedepankan fakta. Dan tidak mencampur adukkan dengan opini. 
    
Sekedar mengenang masa lalu. Di masa Orde Baru, tak semua berita, bisa dipublikasikan. Apalagi kasusyang menyangkut aparat lintas Matra TNI/ABRI, sangat sulit dipublikasi.
   
Sang Kopral angkat telepon: "mohon berita itu tidak dimuat". Kalaupun terpaksa, ada catatan ini dan itu yang tak boleh disebutkan. 
   
Yang menelpon kopral. Tapi atas perintah Sang Jenderal.   
     
Model begini di era sekarang, nyaris tak terjadi. Jika pers menerapkan KEJ dengan benar. 
   
Saya masih punya keyakinan. Masyarakat akan kembali pada pers mainstream dan meninggalkan medsos. 
 
Tapi media mainstream yang memproduksi Medsos berkualitas  akan lebih dipilih audiens. Karena kredibilitasnya telah teruji (*)

Penulis: Oleh : Subakti Sidik, Wartawan Senior PWI|Editor: Arifin BH

Share:

Punya insight tentang peristiwa terkini?

Jadikan tulisan Anda inspirasi untuk yang lain!
Klik disini untuk memulai!

Mulai Menulis
Kemo Ronde Tiga
Previous News
Kemo Ronde Tiga
Lentera Today.
Lentera Today.