12 May 2025

Get In Touch

Nadir Industri Media, Berubah atau Hilang Selamanya

Ilustrasi
Ilustrasi

Dunia media sedang berubah. Dulu, berita hanya datang dari koran pagi, siaran radio, atau televisi malam. Tapi sekarang, berita bisa muncul dari mana saja—dari status media sosial, video singkat, bahkan komentar netizen. Perubahan ini membuat banyak media konvensional terkejut, bingung, bahkan tertinggal.

Di tengah perubahan ini, muncul sebuah konsep penting: konvergensi media. Konvergensi bukan hanya soal pindah ke platform digital. Ia adalah proses menyatukan kekuatan pelbagai media—cetak, radio, televisi, digital, media sosial—menjadi satu ekosistem yang utuh, saling terhubung, dan saling menguatkan.

Sayangnya, banyak media di Indonesia belum sepenuhnya memahami hal ini. Mereka menganggap cukup dengan punya akun Instagram atau website, lalu mengunggah berita versi cetak ke sana. Padahal, konvergensi butuh lebih dari itu. Konvergensi butuh integrasi: konten yang berbeda namun satu cerita, strategi disesuaikan dengan perilaku pembaca, dan tim redaksi yang berpikir lintas format.

Dua tahun terkahir, menurut catatan Dewan Pers gelombang PHK mulai mendera industri media nasional. Perusahaan raksasa media seperti Kompas TV, CNN Indonesia dan MNC, mulai memangkas jumlah karyawannya. Bukan karena mereka tidak punya nama besar, tapi karena mereka kalah cepat dalam beradaptasi. Dunia sudah berubah.

Ini pertanda industri media Indonesia tengah memasuki fase kritis. Bukan hanya terguncang, tetapi mulai runtuh dari dalam. Tanda-tandanya tak lagi samar. Satu per satu perusahaan media, bahkan yang bertitel nasional dan punya sejarah panjang, kini melakukan langkah pahit: pemutusan hubungan kerja massal. Di balik setiap pengumuman layoff, ada kegagalan besar harus diakui: kegagalan beradaptasi.

Teori konvergensi media, yang banyak dikembangkan oleh Henry Jenkins dan para pemikir komunikasi kontemporer, bukan hanya menekankan integrasi antara platform cetak, digital, dan audio visual. 

Lebih dalam dari itu, konvergensi menuntut kesatuan narasi lintas kanal, keterlibatan audiens, serta pembongkaran sekat-sekat lama dalam organisasi redaksi. Di era konvergensi, berita tidak hanya berhenti di teks. Ia menjelma menjadi video, kutipan viral, audio pendek, meme, bahkan perbincangan komunitas.

Namun di Indonesia, media terlalu sering memaknai konvergensi secara sempit. Mereka mendirikan divisi digital, membuat akun media sosial, dan mengunggah ulang berita cetak ke kanal online. Tapi tidak ada perubahan cara kerja. Tidak ada penyatuan tim. Tidak ada integrasi visi. Maka hasilnya pun setengah matang. Alih-alih berkembang, mereka berjalan di tempat dengan gaya baru setengah-setengah.

Sementara itu, publik telah bergeser jauh. Konsumsi informasi hari ini ditentukan oleh kecepatan, relevansi, dan kemasan. Audiens tidak lagi membaca berita karena kewajiban moral, tetapi karena kebutuhan emosional dan kontekstual. Mereka ingin tahu, tapi juga ingin merasa. Mereka ingin informasi, tapi juga butuh kedekatan. Konvergensi memiliki minus yakni post-truth

Penting, konvergensi media itu dilakukan. Pun sebagai jurnalis Kita mempunyai garis api jadi padanan kinerja pemberi informasi. Di titik ini, konvergensi tak bisa lagi dipahami hanya sebagai urusan platform, tapi sebagai penyatuan jiwa media: antara inovasi digital dan etika jurnalistik. 

Di tengah gempuran era post-truth—ketika fakta dikalahkan emosi dan sensasi jadi komoditas—media harus kembali ke akar: menjaga akal sehat publik. 

Tanpa etika, konvergensi hanya akan mempercepat penyebaran kebisingan. Namun jika digabungkan, keduanya menjadi tameng terakhir melawan disinformasi. Di saat industri media berada di titik nadir—tergerus iklan, ditinggal pembaca, dan diguncang PHK—yang bisa menyelamatkan bukan sekadar algoritma atau desain, tapi keberanian menyatukan teknologi dengan tanggung jawab. 

Karena pada akhirnya, yang dicari publik bukan hanya yang cepat, tapi yang bisa dipercaya. Kita bisa belajar dari media global yang berhasil bertahan dan tumbuh. The New York Times membangun transformasi digital dengan investasi besar di sisi data dan desain. BBC memperkuat multiplatform journalism dengan pendekatan lintas tim. Bahkan media lokal seperti Rappler di Filipina membangun relasi kuat dengan audiens lewat komunitas digital.

Indonesia punya semua potensi itu. Kita punya jurnalis berbakat, pasar besar, penetrasi internet tinggi, dan generasi muda yang melek media. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk berubah. Bukan kosmetik digital, tapi perubahan fundamental dalam cara bekerja dan berpikir.

Momen ini adalah titik balik. Kita tidak sedang membicarakan sekadar eksistensi perusahaan media. Kita sedang membicarakan masa depan demokrasi. Jika media konvensional terus melemah, ruang publik akan dikuasai oleh suara yang paling keras, bukan yang paling benar. Tanpa media yang kuat, narasi kebangsaan bisa digantikan oleh algoritma asing.

Oleh karena itu, konvergensi bukan hanya penting. Ia adalah keniscayaan. Dan waktu untuk bergerak adalah sekarang. Sebelum berita tentang layoff berikutnya menjadi berita utama di halaman pertama—lagi dan lagi.

Industri media saat ini berada di persimpangan yang menentukan: tetap bertahan dalam kebiasaan lama atau bergerak mengikuti arah zaman. Konvergensi bukan lagi opsi tambahan, melainkan kebutuhan mutlak. Tapi konvergensi yang hanya fokus pada teknologi tanpa dibarengi etika jurnalistik hanya akan melahirkan sensasi tanpa makna.

Etika adalah fondasi yang menjadikan konvergensi tidak sekadar cepat, tetapi juga dapat dipercaya. Ketika berita bisa datang dari siapa saja dan kapan saja, media harus menjadi penapis yang jernih—bukan hanya penyampai informasi, tapi penjaga nilai dan kebenaran.

Jika perusahaan media ingin tetap hidup dan relevan, mereka harus mampu menyatukan inovasi digital dengan komitmen terhadap kebenaran. Harus ada keberanian untuk mengubah pola pikir dan cara kerja. Bukan hanya karena pasar menuntut, tapi karena publik masih membutuhkan suara yang jujur dan bertanggung jawab.

Jangan biarkan industri ini runtuh hanya karena takut berubah. Di tengah derasnya arus informasi palsu dan opini liar, media yang berani melakukan konvergensi berbasis etika akan menjadi mercusuar—penunjuk arah bagi masyarakat yang haus akan kejelasan dan keadilan.

Oleh: Sukarjito, Pimpinan Redaksi Lenteratoday.com

Share:

Punya insight tentang peristiwa terkini?

Jadikan tulisan Anda inspirasi untuk yang lain!
Klik disini untuk memulai!

Mulai Menulis
Impor Beras Makin Deras!
Previous News
Impor Beras Makin Deras!
Lentera Today.
Lentera Today.