23 June 2025

Get In Touch

Paradigma Geopolitik Prabowo

Presiden Prabowo Subianto di Forum SPUEF (Youtube Setpres)
Presiden Prabowo Subianto di Forum SPUEF (Youtube Setpres)

Di sebuah lorong marmer yang membelah gedung futuristik ExpoForum di Saint Petersburg, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto, hadir dalam forum paling bergengsi di Rusia, Saint Petersburg International Economic Forum (SPIEF). Di saat yang sama, ribuan kilometer ke arah barat, para pemimpin negara-negara G7 berkumpul di Kanada, membicarakan isu krisis global, iklim, dan perang berkepanjangan antara Rusia dan Ukraina, serta konflik yang kembali membara di Timur Tengah antara Iran dan Israel.

Namun Prabowo memilih arah berseberangan. Tidak ke Toronto, bukan ke G7 meski diundang, melainkan ke jantung ekonomi Rusia. Bukan sekadar kunjungan balasan atau ekspedisi dagang, melainkan deklarasi 'diam-diam' bahwa Indonesia, di bawah kepemimpinannya, tidak akan menjadi satelit dari blok kekuasaan manapun.

Di hari-hari itu, ketika dunia kembali berdegup dalam ketegangan Timur Tengah, dan suara rudal menggema dari Tel Aviv hingga Teheran atau sebaliknya, banyak yang bertanya-tanya: apakah Indonesia sedang membelokkan arah haluan politik luar negerinya? Atau inikah bukti nyata bahwa Jakarta tak lagi bermain aman di panggung geopolitik global?

Sikap ini tentu bukan tanpa risiko. Pilihan untuk tidak hadir di forum G7—yang selama ini dianggap sebagai klub eksklusif negara-negara mapan dan berpengaruh—berpotensi menimbulkan denting halus kekecewaan dari negara-negara Barat. Tapi bagi Prabowo, diplomasi bukan tentang menyenangkan semua orang, melainkan tentang menempatkan Indonesia sebagai bangsa bebas menentukan perjalanannya sendiri, tanpa dikendalikan oleh kepentingan bukan miliknya.

Tentu tak sedikit yang mengerutkan dahi melihat sikap ini. Ada yang menganggap Prabowo tengah 'berspekulasi' terlalu dini, mengingat ia menjabat sebagai kepala negara. Ada pula yang menyebutnya romantik Rusia, mengingat kedekatannya yang lama dengan model-model militer dan geopolitik Moskow. Tapi lebih dari itu, pilihan Prabowo hadir di SPIEF ketimbang G7 menyimpan pesan dalam: Indonesia ingin menjadi poros yang tidak hanya netral, tetapi juga aktif dalam membentuk ulang arsitektur dunia pasca unipolar.

Narasi dunia pasca-Perang Dingin telah terlalu lama didominasi oleh kekuatan-kekuatan Barat. Bahasa demokrasi dan HAM seolah milik eksklusif segelintir negara, yang kerap memakainya sebagai alat legitimasi untuk mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Invasi atas nama kebebasan, embargo atas nama hak asasi, dan dominasi ekonomi atas nama pembangunan global. Di tengah pusaran itu, Indonesia selama ini mengambil sikap menghindar—netral yang diam, tidak berpihak tapi juga tak bergerak.

Prabowo ingin mengubah paradigma itu.

Dengan memilih SPIEF, Presiden Indonesia itu ingin mengirimkan sinyal bahwa dunia tak lagi bisa dibaca dalam dikotomi Timur-Barat. Dalam pertemuan itu, ia berdialog dengan perwakilan dari berbagai negara, tak hanya Rusia, tetapi juga Afrika, Amerika Latin, dan Asia Tengah—wilayah-wilayah yang selama ini sering dipinggirkan dalam narasi global. Ia berbicara tentang ketahanan pangan, energi bersih, dan penguatan ekonomi nasional. Bukan soal siapa yang memusuhi siapa, melainkan bagaimana menciptakan kerja sama yang saling menghormati kedaulatan.

Kunjungan itu juga mencerminkan kedewasaan Indonesia dalam menyikapi konflik global. Ketika dunia terbelah antara pendukung Israel dan simpatisan Iran, Prabowo memilih jalan tengah: memperkuat posisi Indonesia sebagai juru damai. Indonesia tidak bersorak pada ledakan bom atau bergembira di atas penderitaan rakyat. Sebaliknya, Prabowo mempertegas prinsip luar negeri Indonesia sejak zaman Sukarno: bebas aktif. Bebas menentukan langkah, aktif menjaga perdamaian.

Di balik langkah ini, terdapat strategi jangka panjang: menciptakan poros diplomasi Indonesia sebagai penjembatan dunia multipolar. Dunia telah lama berubah. China tak bisa lagi dianggap sekadar pesaing, Rusia tak bisa terus-menerus dilabeli agresor, dan negara-negara Selatan global tak lagi mau duduk sebagai penonton. Dunia multipolar adalah kenyataan. Dan dalam dunia seperti itu, negara yang mampu menjalin komunikasi dengan semua pihak—tanpa harus tunduk pada salah satu kubu—akan menjadi pemain penting.

Pilihan Prabowo juga relevan dengan konstelasi geopolitik energi dan pangan. Rusia, meski dijatuhi sanksi, tetap menjadi raksasa energi dunia. Kerja sama di bidang pupuk, gandum, dan logistik strategis bisa memperkuat kemandirian Indonesia, terutama ketika tekanan geopolitik membuat pasokan global menjadi tak menentu. Dalam hal ini, SPIEF bukan hanya forum ekonomi, tapi medan strategis bagi ketahanan nasional.

Tentu saja, langkah ini tidak bisa dilepaskan dari gaya Prabowo sendiri—keras, tegas, tapi kerap menyimpan kejutan. Di satu sisi ia menyatakan kedekatan dengan Amerika Serikat, di sisi lain ia membuka komunikasi dengan Tiongkok dan Rusia. Di satu sisi ia bersumpah menjaga konstitusi dan demokrasi, di sisi lain ia bersikap luwes terhadap format pemerintahan yang kuat. Ini bukan inkonsistensi, tapi gaya realpolitik ala Prabowo: berbicara di semua meja, bertarung di semua gelanggang.

Pilihan Prabowo juga mencerminkan sensitivitasnya terhadap geopolitik Islam. Dalam konteks konflik Iran–Israel, Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia punya beban moral dan politik yang tidak ringan. Namun ia tidak terjebak dalam diksi 'memihak', melainkan memperluas panggung. Bahwa konflik tak bisa selesai dengan kutukan semata. Harus ada kekuatan tengah yang didengar oleh semua pihak. Indonesia ingin mengambil posisi itu.

Sebagian kalangan mungkin menilai ini hanya gestur simbolik, atau bahkan pencitraan awal seorang presiden baru. Tapi dalam dunia politik internasional, simbol adalah pesan. Dan pesan Prabowo di SPIEF begitu gamblang: Indonesia ingin menjadi negara besar yang menentukan arah, bukan mengikuti peta orang lain.

Yang lebih menarik, kehadiran Prabowo di Rusia seolah menghidupkan kembali semangat non-blok dalam wajah baru. Dulu, Non-Aligned Movement berdiri untuk menghindari kolonialisme baru. Kini, wajah kolonialisme berubah: bukan lagi dengan senjata, tapi dengan utang, pasar, dan narasi media. Dalam konteks itu, Indonesia harus punya sikap—dan bukan sikap yang dibisikkan dari luar negeri.

Tentu ini bukan perjalanan yang mulus. Di dalam negeri, banyak tantangan. Belum tuntas urusan pangan, stabilitas harga, pendidikan, dan reformasi birokrasi. Tapi sikap luar negeri bukan soal menunggu. Dunia tidak akan diam menanti kesiapan kita. Dalam politik global, siapa yang diam akan dilangkahi. Dan Prabowo memilih bicara.

Tentu akan ada konsekuensi. Mungkin sedikit gesekan dengan negara-negara G7. Mungkin sorotan dari media asing. Tapi dalam jangka panjang, kepercayaan diri dalam menentukan sikap adalah aset yang lebih berharga daripada sekadar berbaris dalam iring-iringan tanpa arah.

Prabowo tahu, dunia sedang berubah. Amerika tak lagi tunggal, Eropa kehilangan arah, dan Asia tengah bangkit. Dalam tatanan yang cair seperti ini, hanya negara yang berani menentukan sikap yang akan tetap berdiri tegak. Dan SPIEF adalah panggung pertama di mana Prabowo mengetuk palu itu.

Dalam sejarah diplomasi Indonesia, kita pernah punya tokoh seperti Adam Malik, yang membawa Indonesia berbicara di forum dunia dengan kepala tegak. Kita pernah punya Ali Alatas, yang menengahi konflik Asia Tenggara dengan elegan. Kini, Prabowo tampaknya ingin mengukir babnya sendiri dalam sejarah itu. Bukan sebagai pendamai yang pasif, tapi sebagai arsitek poros baru—poros yang menghormati kedaulatan, memperkuat ketahanan, dan menjaga martabat bangsa di tengah riuhnya dunia yang saling menelan.

Karena pada akhirnya, diplomasi bukan hanya tentang kata-kata. Ia adalah soal keberanian memilih jalan sendiri. Dan Prabowo, dalam langkahnya ke Rusia, seolah ingin mengatakan: Indonesia bukan hanya negara yang besar dalam peta, tapi juga dalam sikap.

Sikap itu kini sedang diuji.

Dan dunia sedang memperhatikan.

Oleh: Sukarjito, Pimpinan Redaksi Lenteratoday.com
 

Share:

Punya insight tentang peristiwa terkini?

Jadikan tulisan Anda inspirasi untuk yang lain!
Klik disini untuk memulai!

Mulai Menulis
Lentera Today.
Lentera Today.